Catatan Untuk Dia

Catatan Untuk Dia



Minggu,9 Oktober 2011, 04:47 siang

Baru saja aku terbangun dari tidur nyenyakku, lalu aku melihat jam dinding telah menunjukan pukul 04:38 siang, seketika aku langsung teringat kalau hari ini aku ada sebuah rencana, rencana yang mungkin bisa mempengaruhi masa depan ku kelak. Sebuah rencana yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan, bahkan aku tidak tahu langkah pertama apa yang harus aku ambil untuk rencana ini. satu hal yang aku ingat saat itu adalah aku telah meniatkan rencana ini secara matang, yang tidak mungkin kalau aku batalkan.
Ini adalah rencana dimana aku akan mengungkapkan seluruh perasaan hatiku ke kamu, perasaan yang telah tumbuh disaat pertama kali ku melihat wajahmu, melihat manis senyummu, bahkan melihat indah cara kamu melangkah.
Dan hari ini, semua rencana itu akan aku kerjakan…
“Hallo..” sahut aku dari Hp
“iya,” jawab kamu di ujung sana.
“Euis, ada yang pengen aku omongin ni,” aku melanjutkan pembicaraan.
“ngomong apaan?” tanya kamu.
“tapi aku malu mau ngomongnya,”
“kenapa malu? gak papa ngomong aja”
“gimana ya,” aku semakin gugup “emm… Euis…”
“iya kenapa?”
“udah lama aku..” aku menarik nafas sejenak “..suka sama kamu,”
“ya terus,”
“Euis suka juga gak sama Irvan?” tanya aku dengan bodoh
Suasana hening sejenak
“iya aku juga suka sama Irvan”
Dari kalimat terakhir yang terucap oleh mulut kamu, dan setalah Hp dimatikan, dengan resmi kita berdua pun dinyatakan berpacaran. Tidak ada kata romantis saat itu, tidak ada sepucuk bunga mawar, yang ada hanya kata-kata aneh yang aku ucapkan sebagai tanda kalau kita telah resmi barpacaran. Mungkin bagi kamu ini adalah cara yang aneh untuk dimulainya sebuah hubungan yang bisa dibilang sakral.
Aku kembali melihat jam dinding yang sekarang telah menunjukan pukul 04:37 siang.
Ini semua tentang kita…
Tentang hubungan kita…
Dan tentang khayalan kita untuk masa depan…
Selama ini kamu tahu, bahkan aku juga tahu, kalau aku bukanlah seorang yang mempunyai banyak kata puitis yang bisa membuat kamu menangis akan romantisme yang tercipta. Aku hanyalah seorang aneh yang selalu berusaha membuat kamu tertawa akan kegilaan ku. Aku sadar kalau setiap wanita selalu membutuhkan perhatian dari pasangannya, dan kamu adalah wanita. Tapi sayangnya, aku merupakan pasangan yang menurut kamu tidak pernah memberikan perhatian lebih kepada kamu, bahkan kamu berfikir kalau aku adalah seorang pasangan yang cuek. Tapi kamu harus tahu, kalau sebenarnya aku lebih memperhatikan kamu dibanding siapapun.
Kamu sering bilang ke aku, kalau aku harus berubah, kamu ingin aku tidak terlalu cuek dan tidak terlalu dingin bila di samping kamu. Kamu bilang seperti itu hingga 3x atau 5x bahkan sampai belasan kali. Dan setiap yang kamu ucapkan, aku selalu berusaha mewujudkannya, aku mencoba hingga 3x atau 5x bahkan belasan kali, sebanyak yang kamu pinta. Tapi kamu tahu, aku juga tahu, aku selalu gagal. Aku tidak bisa menjadi seseorang yang kamu inginkan, semakin aku coba, semakin aku kembali menjadi diriku sendiri. hingga pada akhirnya, walaupun hanya sedikit, aku bisa memberikan kamu kebahagiaan dengan caraku sendiri.
Kamu juga termasuk wanita yang selalu ingat akan suatu momen, baik itu momen indah ataupun buruk yang telah kita lewatkan. Kalau kamu sedang teringat oleh satu momen pasti kamu selalu bartanya pada ku “kamu ingat gak waktu itu…” dan aku selalu balik nanya ke kamu “yang mana itu…”. biasanya kalau aku seperti itu, kamu selalu bilang ke aku kalau aku ini pikun. Juga setiap kita sedang pergi main, kamu selalu menanyakan tempat yang dulu pernah kita kunjungi “bodoh kamu inget gak tempat itu?” atau “liat doh, dulu kita pernah kesitu ya?”. dan seperti biasa aku selalu balik nanya “yang mana itu…”. kadang pernyataan aku itu membuat kamu kecewa, kamu pasti berspekulasi kalau aku ini orang yang “masa bodo”, yang selalu lupa dengan momen-momen yang telah kita lalui. Tapi sejujurnya aku tidak pernah melupakan itu, bahkan aku lebih mengingat segala sesuatunya dibanding kamu, bahkan dari hal yang paling detail sekalipun. Aku ingat kalau kita pernah kehabisan bensin saat bermain, dan kita berdua terpaksa mendorong motornya sampai ke tempat penjualan bensin terdekat. Atau aku ingat kita pernah hujan-hujanan berdua di atas motor. bahkan aku ingat wangi aroma parfum yang kamu pakai disaat kita pergi nonton untuk pertama kalinya. Aku ingat semua.
Dan selanjutnya…
Kita selalu berkhayal, bila suatu saat nanti ketika kita telah bekerja satu sama lain, Kita akan menyisikan setiap gaji kita untuk membeli rumah, rumah pribadi yang nantinya akan kita tempatkan berdua, rumah yang bakal menjadi simbol kerukunan kita, dan rumah yang akan menyajikan kenyamanan saat kita berada di dalamnya. Yang pasti, ketika kita telah menempatkan rumah tersebut, status kita pun secara otomatis akan berubah. Dari berpacaran berganti menjadi menikah. Suatu hubungan yang sangat mengikat dari sebelumnya, yang begitu rentan akan konflik yang nantinya akan terjadi. Hubungan yang tidak cukup dengan kejujuran saja, tetapi harus didasari oleh kesabaran. Namun aku percaya, kamu juga percaya, seberapa besar konflik yang akan terjadi kepada kita nanti, kita pasti akan bisa melewatinya dengan mudah.
Akhirnya…
Catatan singkat ini sekarang telah ada di tangan kamu, entah telah kamu baca secara keseluruhan atau tidak, aku tidak tahu. Tapi sampai saat ini, disaat kita telah berpacaran lama sekali, aku masih tidak mengerti mengapa kata-kata yang awalnya begitu singkat dan sederhana bisa membuat hubungan berjalan begitu lama, lama sekali.
THE END

Lost in France, Lost in You

Lost in France, Lost in You

 

Charles de Gaulle, 29 November 2017.
Delina melengos lelah, jarum jam di tangannya menunjukkan pukul delapan malam. Sadarlah ia jam di tangannya masih menunjukkan waktu Indonesia bagian barat. Kalau ia tidak salah hitung, harusnya sekarang masih pukul 2 siang.
Delina menggendong ranselnya dengan pasrah. Tubuhnya terlalu lelah untuk merengek. Ia sudah terbang sejauh sebelas ribu lima ratus delapan puluh kilometer. Walaupun lelah, senyumnya masih terkembang. Sekarang kakinya telah resmi menginjak lantai bandara Charles de Gaulle. Dan dia tidak bisa lebih bahagia dari ini.
Hall kedatangan bandara seharusnya menjadi tempat paling membahagiakan di semua bandara. Ia menengok ke sekelilingnya, melihat seorang ibu sedang menggendong bayinya yang sedang merengek. Wajah si ibu bule tadi terlihat letih, pertanda habis melakukan perjalanan panjang sepertinya. Namun raut wajahnya berubah tatkala ia mencapai pintu dan melihat sesosok lelaki berdiri menunggunya disana. Membawa setangkai mawar merah yang masih segar, dan sebuah senyuman hangat. Delina berani bertaruh lelah si ibu tadi akan sekejap hilang.
Sementara dirinya? Ia sendiri. Ya, memang awalnya itulah yang ingin dilakukannya dengan pergi ke benua biru ini. Menyendiri. Setelah melewati pemeriksaan pasport oleh petugas keamanan bandara, Delina segera mengantri di depan conveyor belt, menunggu koper ungu kesayangannya tiba. Setelah melihat kopernya, tanpa basa-basi ia langsung menarik koper besarnya. Dan cerobohnya, koper itu mengenai lengan atas seorang bapak.
“I am sorry, sir. I didn’t mean it.”
Namun bapak tadi hanya memandangnya tajam. Tanpa membalas permintaan maaf Delina. Delina tidak peduli. Ia ingin segera tiba di Paris. Ia segera berjalan, tersenyum sekilas ke arah tulisan Bienvenue en France yang menyadarkannya bahwa ia sekarang sudah di Perancis! Delina mengikuti tanda RER B, Paris par train, yang tertulis besar-besar di pintu keluar.
Sampai di depan mesin tiket otomatis yang berwarna hijau, Delina kebingungan setengah mati. Mesin itu hanya mau menerima uang koin, sementara uang yang ia punya hanya berupa lembaran kertas. Ia celingak-celinguk. Lalu dengan nekat menghampiri seorang bule. Nampaknya masih seusianya.
“Excusez-moi, parlez-vous anglais?” Delina mencoba mempraktekkan bahasa Perancisnya yang dianggapnya masih abal-abal. Lelaki tadi menoleh, menyemburkan rasa lega di hati Delina karena ternyata laki-laki tadi mengerti.
“Oui. Can I help you?”
Delina nyengir kuda, “I don’t know what to do. That ticket machine just wants coins. But I don’t have any. Is there any place to change the money I have with Euro coins?”
Laki-laki itu menatapnya datar, dan menunjuk sebuah mesin tak jauh dari tempat mereka berdiri. Sebuah mesin penukar uang.
“Oh, hehehe. I didn’t see that one. Thank you very much!!”
Delina segera memasukkan selembar uang 10 Euro nya ke dalam mesin, dan tak berapa lama muncullah keping-keping koin Euro yang segera dipungutnya. Delina lalu membeli tiket seharga 9,5 Euro itu, kembali ke mesin hijau tadi. Setelah mendapatkan tiketnya ia segera bergegas menuju peron.
Paris, 29 November 2017.
Angin November yang berhembus di kota Paris jauh lebih dingin dibanding yang Delina kira. Ia segera merapatkan syal merah mudanya. Setelah check in di sebuah hotel dekat Gare de Lyon, ia segera keluar. Tak mau menghabiskan sore hanya duduk berdiam di dalam kamar. Senja di The City of Lights terlalu sayang untuk dihabiskan dengan hanya berleyeh-leyeh.
Jarak dari hotelnya ke Eiffel tower hanya 4 kilometer, dan Delina memutuskan untuk berjalan kaki saja. Lagipula siapa yang mau melewati sunset dari puncak menara Eiffel, kan?
Delina ikut mengantri bersama beberapa turis untuk dapat naik elevator menuju puncak menara Eiffel. Sekarang bukan musim liburan, jadi antrian tidak terlalu panjang.
Setelah berhasil naik ke puncak, hatinya merasa aneh. Matahari senja yang berwarna jingga keemasan itu mulai merangkak turun. Ribuan lampu di bawahnya seolah dinyalakan secara bersamaan. Membentuk cahaya-cahaya yang menerangi malam. The City of Lights. Delina tak paham mengapa justru pada saat sekarang hatinya merasa sakit. Harusnya ia sekarang bahagia. Mungkin memang tidak akan ada manusia yang paham tentang urusan hati. Tentang perasaan, dan rasa sakit.
“Udah tiga tahun, Ji…”

Jakarta, 7 Januari 2014.
Tulisan besar-besar di papan tulis kelas itu menghujam kepalanya. Serentet tugas dan ulangan minggu itu memenuhi benaknya. Akhir pekannya akan terasa pekat dan pahit, seperti rasa kopi kesukaan Bapak. Fisik dan batinnya sudah terlalu lelah. Tulisan ‘Kira-kira H-3 bulan UAN, semangat teman-teman :*’ memenuhi papan tulis lainnya, yang mau tidak mau memberikan sedikit semangat bagi penghuni kelas itu.
Delina memandangi teman-teman seperjuangannya. Orang-orang yang akan menjadi orang-orang yang akan sangat dirindukannya ketika ia melangkah keluar, dan melepas seragam putih abu-abu yang selama tiga tahun menjadi identitasnya.
Dan sosok itu tertangkap oleh retina matanya. Duduk di barisan keempat dari depan. Asyik menekuni gitar usangnya. Memetik lagu kesukaannya, dan mungkin kesukaan orangtuanya. Lagu jadul. Delina tidak mengetahui isinya, dia memang bukan pecinta lagu-lagu jadul. Ia hanya pernah mendengarkan lagu itu ketika berada di dalam bus malam jurusan Jakarta-Jogja. Lebih dari itu, ia tidak tahu lagi. Ia tidak terlalu suka bus. Ia lebih memilih kereta. Ia selalu suka warna hijau pada tiang-tiang penyangga stasiun Gambir, dan selalu ingin tahu bagaiman rupa stasiun Gare de Lyon di benua biru sana.
Gadis itu menoleh lagi. Sudah beberapa bulan belakangan laki-laki yang memetik gitar usang itu menyita pikirannya. Lebih dari pada itu, mengacaukan jam tidur malamnya. Delina mendengus sebal, kapan laki-laki mau mengerti? Hah.
Manusia penuh hormon testosteron. Selalu mengedepankan logika. Dan menyingkirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan hati. Mereka yang tidak pernah bisa paham cara kerja otak wanita. Cara kerja hati yang selalu mengedepankan perasaan untuk menyelesaikan masalah. Cara kerja pikiran yang selalu membentuk presepsi-presepsi aneh yang bahkan tidak nyata. Dan berujung kepada kepatah-hati-an.
Mungkin semua wanita menderita erotomania.
Tak terkecuali Delina. Berbulan-bulan otaknya meyakini hatinya bahwa perasaannya hanya bualan. Khayalan alam bawah sadarnya. Namun hatinya menolak mengakui. Perasaanya kembali menang. Selalu menang.
Sampai pada suatu ketika ia dihadapkan pada sebuah kenyataan mengejutkan, dan menyedihkan.
Dan mulai hari itu ia berjanji tidak akan membuat presepsi yang aneh-aneh lagi. Ia berjanji untuk berhenti mengidap erotomania.
Jakarta, 24 Mei 2014. 07.00 WIB.
Hari ini pengumuman hasil UAN. Seluruh pelajar SMA sederajat kelas 3 se-Indonesia pasti gelisah. Hari itu Delina dan seluruh teman seangkatannya berdiri di lapangan basket. Harap-harap cemas, menunggu orangtua mereka yang telah berada di kelas-kelas.
07.15.
Speaker sekolah berbunyi gemerisik yang langsung menimbulkan efek. Kerumunan putih abu-abu yang ribut sekali tadi itu mendadak diam.
“SELAMAT UNTUK SELU…” pengumuman itu belum selesai, namun kerumunan tadi mendadak histeris. Banyak yang menangis, berpelukan satu sama lain, dan bersujud mengucap syukur.
Cat-cat semprot dikeluarkan dan dalam hitungan menit, seragam putih mereka berubah menjadi warna-warni. Spidol-spidol permanen diedarkan. Bergantian mereka menandatangani baju temannya. Sambil tertawa dan berpesan untuk jangan saling melupakan.
Delina sedang membereskan barangnya dan mengenakan cardigannya saat ia mendengar langkah kaki mendekat. Koji, panggilan sayang teman seangkatan untuknya itu telah menjadi nama keduanya. Laki-laki yang bermain gitar usang. Laki-laki yang bernyanyi lagu-lagu jadul.
“Ada apa, Ji? Baju lo udah gue tanda tangani kan?”
Koji terlihat salah tingkah, ia mencoba terkekeh namun Delina tetap terdiam. Suasana kali itu terasa janggal. Delina sudah berjanji tidak akan terkena erotomania lagi. Jadi ia menganggap obrolan ini bukanlah apa-apa.
Koji mengangsurkan sebuah kertas yang diyakini Delina merupakan sebuah amplop. “Ini, Lin. Gue cuma mau ngasih ini. Maaf gue pengecut. Selamat udah lulus. Jangan lupa sama gue ya ntar.” Koji tersenyum hambar.
“Makasih, Ji. Lo kali yang bakal lupa sama gue.”
Dan Koji berlalu pergi tanpa pernah berkata apa-apa lagi. Delina menatap amplop biru di genggamannya yang perlahan mulai basah akibat tetes-tetes bening dari pelupuk matanya.
Dear Delina…

Tepi Sungai Seine, Paris, 29 November 2017.
Delina memandangi aliran air di hadapannya yang gelap, kehilangan cahaya yang kalah beradu dengan pekatnya malam. Aliran air yang hanya beberapa kali terlihat kilaunya saat sebuah kapal dengan dek terbuka yang mengangkut turis lewat. Lampunya dengan kejam membelah kelamnya sungai Seine malam hari. Klaksonnya terdengar angkuh, kontras dengan tenangnya aliran sungai Seine pada malam hari.
Matanya menyipit, menatap tajam sebuah kapal ber-dek terbuka yang sedang melintas. Terdengar kerumunan turis-turis yang berseru-seru gembira. Berbagai bahasa berbeda yang tidak dimengertinya tertangkap oleh telinganya.
Delina tertawa dalam hati. Melakukan sight-seeing sungai Seine pada malam hari di bulan November? Konyol. Namun sebuah kenyataan menampar perasaannya. Setidaknya para turis yang berseru kedinginan itu bahagia.
Angin November yang membawa gigil itu kembali berhembus. Membuat Delina bergidik, bulu kuduknya meremang. Sudah semakin malam. Delina berusaha menghangatkan dirinya sendiri. Memeluk erat kedua humerus nya, atau beberapa kali memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam kantung mantelnya yang hangat. Gerakan tangannya berhenti saat ujung jari manis kirinya menyentuh sebuah benda tipis bertekstur. Segera Delina mengeluarkannya.
Surat dari Koji…
Delina memandangi amplop biru itu selama beberapa saat. Membiarkan dirinya ikut terbawa arus nostalgia yang sedang dilakukan otaknya. Delina menutup matanya, merasakan angin November itu kembali berhembus, masuk melalui sela-sela benang wol syalnya. Namun sensasi itu diabaikannya. Kenangan masa lalu lebih menyenangkan untuk dirasakan.
Setelah detik ke empat belas, Delina membuka matanya. Dan tersenyum sedih.
“Lo bohong, Ji. Sekarang sembilan belas november, sekarang tepi sungai Seine, sekarang jam tujuh malam. Tapi nggak ada apa-apa.”
Setelah jarum pendek pada arlojinya menunjuk ke angka 8, Delina bergegas pergi meninggalkan ketentraman sungai Seine. Mampir di sebuah cafe teras untuk membeli satu cup kopi panas, dan croissant keju, temannya untuk perjalanan pulang.
Delina memutuskan untuk mampir ke Eiffel tower lagi, ingin merasakan malam di taman yang mengelilingi Eiffel sambil minum kopi dan makan croissant. Eiffel di malam hari jauh lebih menakjubkan dibanding ketika siang hari. Lampu-lampu yang menempel pada badannya sudah dinyalakan. Dan hal itu menarik minat wisatawan lebih banyak lagi. Seolah Eiffel tower tidak pernah sepi.
Meluruskan lutut setelah berjalan seharian memang menyenangkan. Delina berbaring di atas rumput dan menutup matanya, merasakan semilir angin yang dengan bahagia membelai wajahnya. Ia akan mencoba bahagia, seperti turis-turis di sungai Seine tadi.
Tiba-tiba ia merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Delina bergegas bangkit. Dadanya berdebar. Ia takut. Katanya high-skilled professional pickpockets are here. Delina bersiap berteriak saat kemudian matanya menatap kedua bola mata kelabu itu lagi. Kedua bola mata yang terakhir dilihatnya pada 24 Mei 2014.
“Koji…” Delina menatapnya tak percaya.
“Halo, Lin. Long time no see.” Ia nyengir, menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi.
“Kata kamu sungai Seine. Kenapa Eiffel?”
“Tadi aku udah ke Seine. Lihat kamu. Tapi ternyata Eiffel malam hari jauh lebih romantis dibanding Seine yang gelap. Maaf ya…”
Delina mencoba menahan matanya yang mulai memanas. Perasaannya tak menentu. Sebal, marah, kecewa, sedih, bahagia, haru, tidak percaya, dan rindu berkumpul menjadi satu disana. Membentuk buliran-buliran bening yang meluncur turun tepat pada detik ke empat belas.
Ia tidak bisa lebih bahagia daripada ini.

Surat dari Koji.
Dear Delina…
Percaya atau nggak, kamu nggak kena erotomania. Nggak. Nggak pernah.
Aku nggak tau.
Harusnya aku tau.
But everything’s too late, I guess.
Aku terlalu takut. Takut untuk jatuh dan mematahkan semua tulangku. Terutama costae-ku. Aku takut ia patah duluan sebelum ketemu pasangannya. Hehe.
Lin, maaf.
Maaf karena kamu mengutuki dirimu sendiri menderita erotomania, padahal nggak. Perasaanmu berbalas. Oh bukan, harusnya aku yang bilang kalo aku senang perasaanku yang berbalas.
Aku terlalu takut untuk dekat dan bilang, because you were too perfect for me. Oh, you’re still perfect.
Maaf karena aku buat kamu sedih.
Sorry, I dated another girl.
Maaf karena aku pecundang, ya.
Untuk menebus semuanya, can I ask you a favor?
Kalo kamu masih marah, sih, nggak papa.
Meet me at Seine river, Paris. November 29 2017. 07.00 p.m.
They said Seine at night is incredibly romantic! Hehe.
Gimanapun caranya, selama tiga tahun ke depan aku bakalan nabung. Kamu juga nggak? Aku harap iya, ya. I remember you wanted to see Gare de Lyon, I always remember. Hehe.
Nanti kita bisa sight-seeing Seine di malam hari bulan November bareng, jalan di Champs-Élysées menelusuri axe historique, atau beli macarons di Ladurée ya!
Sampe ketemu tiga tahun enam bulan kurang lima hari lagi!
Sorry for everything, Lin. I’m gonna miss you..

THE END..

Jangan Pernah Lupakan Aku Lagi

 Jangan Pernah Lupakan Aku Lagi

 Pagi ini, burung-burung tampak berkicau menyapaku. Sinar matahari yang hangat menyelimuti pagi yang indah ini. Aku mulai membuka mata dari tidur lelapku. Kulihat jam dinding biruku menunjukkan pukul 6 pagi. Aku pun turun dari tempat tidur hello kitty pemberian ayahku. Ini adalah pagi di hari Minggu yang sempurna.
Smartphone-ku mulai berdering, menunjukkan bahwa ada yang menelponku yang masih berpiyama. Kuangkat telepon itu. “halo, Fian… aku masih ngantuk, nih…” kataku manja.
“kamu sudah tidur berapa jam? Ini sudah pagi. Sebaiknya kau segera mandi. Aku tunggu kau di taman Kenanga pukul 8. Bye-bye, Airin!” kata seseorang di seberang telepon yang tak lain adalah Fian, pacarku.
“aku akan datang. Bye-bye, Fian…” kataku. Sungguh, kata-katanya begitu singkat dan berarti. Aku sangat mencintainya. Begitu juga Fian. Aku selalu berusaha agar tak terjadi masalah antara kami berdua. Hidupku itu harus, terus, dan memang simple. Kadang, kami saling membuat ulah. Tapi, kata maaf yang tulus pun menyelesaikan semuanya.
Aku tak mau berlarut-larut dalam kicauan burung yang hinggap di kabel listrik di luar jendelaku. Aku pun segera mandi dan merapikan penampilanku. Rambut, atasan, rok, gelang, kalung, tas, kaus kaki, flat shoes, sampai ke isi dompet aku persiapkan sebaik-baiknya agar tak terlihat mengecewakan di hadapan Fian. Aku juga tak lupa untuk mengenakan kalung pemberian Fian. Aku tentu senang. Ini adalah kencan ke-empatku dengan Fian. Laki-laki yang tampan dan pengertian itu telah mencuri hatiku, bak Cinderella yang menemukan pangerannya.
Sebelumnya, dia adalah temanku yang terbaik. Waktu itu, aku masih memiliki seorang pacar, namanya Andi. Aku pun putus dengan Andi karena dia punya simpanan. Seiring waktu berlalu, aku dan Fian mulai saling menyukai, dan pada akhirnya kami saling mencintai. Begitulah, setidaknya aku punya kekasih yang selalu mengerti aku. Aku tersenyum sendiri setelah mengingat masa laluku yang penuh suka duka. Walaupun masih ada waktu 30 menit sebelum pukul 8 pagi, aku segera mengenakan sepatuku dan pergi jalan kaki ke taman Kenanga, taman bunga paling cantik di kota.
Baru setengah perjalanan, matahari pun menipuku. Cuaca yang begitu cerah tiba-tiba berubah menjadi redup dan turunlah hujan yang cukup membuatku basah. Aku segera berteduh ke dalam sebuah toko kue. “hmm… aku tak bawa payung.” Keluhku. Aku pun berdiri mematung memandang tetesan hujan dari balik jendela toko tersebut.
“Airin… kau kembali lagi… apa si bodoh Fian itu akan kencan denganmu hari ini? Apa kau lupa padaku?” kata seorang pegawai toko kue tersebut. Suaranya sangat familiar di telingaku.
Saat aku berbalik, aku benar-benar terkejut. “An.. Andi? Kau kah itu?” kataku tak percaya. Di saat orang lain bersekolah, dia malah menjadi pegawai toko kue.
“kau khianati aku. Kau pasti mengingatku.” Katanya membuatku yakin bahwa yang berdiri disana itu mantan pacarku.
“aku tak mengkhianatimu. Kaulah yang mengkhianati aku!” Kataku sadar dari keterkejutanku.
“begitukah? Kau sudah menyukai Fian dan mulai tak memperdulikanku. Apa itu jelas? Kau harus membayarnya.” Kata Andi penuh rasa dendam.
Aku mulai takut. “membayarnya? Apa maksudmu?” kataku bingung dan takut. Aku mulai mundur perlahan.
“kau pikir rasa sakit hatiku itu masalah kecil? Tiap kali melihatmu dengan Fian, hatiku sakit. Aku takkan membiarkan kau bahagia. Akan kupastikan itu.” Katanya serius. Tangannya mengepal penuh benci. Dia bisa saja melukaiku. Tapi, yang paling kutakutkan adalah apa yang terjadi jika Fian terluka karenanya.
Aku mulai mundur, berbalik, dan lari. Tentu saja, Andi mengejarku di tengah hujan yang masih mengguyur kota ini.
Aku tak tahu harus lari kemana. Kecepatan lari Andi membuatku tak bisa berpikir. Aku terus berlari. Hingga akhirnya, aku terperangkap di sebuah gang sepi. Apalagi, gang tersebut buntu. Hanya ada sebuah kolam di ujungnya. Aku berjalan mundur sambil melihat Andi sudah siap memukulku dengan sebuah tongkat kayu. “bersiap-siaplah untuk pergi, Airin… ha ha ha…” kata Andi sambil mempererat pegangannya kepada pemukul kayunya. Dia pun mulai mengayunkan batang kayu di tangannya. “jangan!” teriakku sambil mentup mataku. PLAK!!! Aku merasa tidak kesakitan ataupun kehilangan nyawaku yang hanya satu.
Kubuka mataku. Aku senang sekaligus terkejut. “Fian! Kau datang!” seruku saat melihat Fian memukul bahu Andi sehingga Andi terjatuh. “kau tidak apa-apa?” kata Fian kepadaku. Dia nampak sangat pAnik.
“aku tidak apa-apa. Terima kasih telah datang…” kataku salut dengan kedatangannya.
“semuanya takkan berhenti sampai disini!” teriak Andi mulai berdiri.
“berhentilah! Atau aku akan melukaimu.” Kata Fian dengan berani.
Aku khawatir dengan Fian. Kemarin, kakinya keseleo. Apa dia bisa bertahan?
“lakukanlah jika kau bisa!” kata Andi sambil memulai serangannya. Kupengang erat kalung pemberian Fian. Selain itu, aku hanya bisa memegang erat kalung pemberian Fian yang kukenakan dan berharap. Kau bisa, Fian. Kau bisa.
Fian dan Andi berkelahi cukup sengit. Pukul sini, pukul sana, tendang sini, tendang sana. Begitu terus berulang. Aku mulai menangis. Aku benar-benar takut dan cemas. Dan akhirnya, Fian bisa menjatuhkan Andi ke sebuah kolam ikan di ujung gang tersebut. Cukup dalam, memang. Tapi, Fian kehilangan keseimbangan serta mendadak pusing dan terjatuh pingsan. Kepalanya berdarah mengenai sebuah batu hitam besar.
Aku pun menelepon Ani, adiknya Fian sekaligus sahabat baikku, untuk datang dan mencari bantuan. Berselang lima menit, Ani pun datang dengan mobilnya yang mewah. Fian pun dibawa ke rumah sakit. Aku juga ikut. Sebelum menaiki mobil, aku berbalik dan menatap Andi tengah berusaha naik dari kolam itu.
“Fian… kau sudah sadar?” kataku saat Fian membuka mata. Cuaca hujan beserta ac yang dingin membuatku serasa membeku. “dimana aku?” kata Fian masih pusing.
“ini di rumah sakit. Kakak tidak apa-apa?” kata Ani kepada kakaknya. Sepertinya, Ani juga sangat cemas.
“kau baik-baik saja, kan?” kataku memegang tangannya.
“siapa kau? Siapa kalian? Kenapa aku ada disini? Dan… siapa aku?” ucap Fian membuat semua orang di ruangan itu, yang sebenarnya hanya aku dan Ani, tidak percaya dan kaget.
“kau bercanda, kan? Kau tak sungguh-sungguh melupakan kami, kan? Aku adikmu! Coba ingat, kak…” kata Ani mulai menangis. Dari wajahnya, Fian terlihat benar-benar serius dan benar-benar lupa.
aku juga mulai kebingungan. “kau ingat aku? Aku pacarmu. Kau ingat? Atau, kau lupa?” kataku berharap dia akan ingat.
“kau adikku? Kau pacarku? Aku sungguh lupa… apa yang terjadi, aku tidak ingat sama sekali.” Kata Fian ikut-ikutan bingung.
Aku mulai melepas genggaman tanganku kepadanya. “Ani… ayo keluar dulu. Fian pasti butuh waktu untuk mengingatnya kembali. Semoga saja… Fian ingat lagi,” kataku sambil menarik Ani keluar kamar.
“namaku Fian, ya?” kata Fian pelan. Aku tak percaya. Dia pasti amnesia. Hari yang sempurna ini jadi kacau balau.
“dia terkena amnesia. Kami perlu meneliti lebih lanjut tentang amnesia jenis apa yang dideritanya.” Kata seorang dokter yang merawat Fian. Kenapa ini terjadi? Ani masih bengong terkejut. Aku mengajak Ani pergi dari ruang dokter.
Dari luar jendela kamar Fian, aku melihat pacarku itu sedang duduk termenung. Dia sepertinya sedang mencoba mengingat-ngingat asal-usulnya. Beberapa saat kemudian, dia tampak pusing dan memegang kepalanya. Tentu saja, dia pasti masih lupa. orangtua Fian pergi ke luar negeri untuk beberapa minggu kedepan. Ani tidak memberitahu orangtuanya tentang kejadian ini. Aku menangis sekali lagi. Pakaianku masih basah karena hujan tadi. Fian terkena amnesia karena benturan di kepalanya. Dia terbentur karena berkelahi dengan Andi. Dia berkelahi dengan Andi karena berusaha menyelamatkanku. Semua berawal dari diriku. Aku merasa sangat bersalah. Fian terluka karena aku. Aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri. Aku membalikkan badan. Aku kemudian melangkah pulang setelah pamit kepada Ani. Aku melirik Fian sekilas. Rasa bersalah ini terus menghantuiku.
Aku pulang dengan langkah yang berat. Aku kesal kepada diriku sendiri. Kuhempaskan badan yang masih sedikit basah ini ke tempat tidur. “setidaknya, Fian masih selamat…” kataku dalam hati.
Aku pun kemudian mandi. Kulihat jam dinding di kamarku. Ternyata sudah pukul 8 malam. Tidak ada seorang pun di rumah. Aku adalah anak tunggal. Sementara ayah dan ibuku sering pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Suasana yang membosankan dan hening pun terjadi di rumahku. Jika hal buruk ini tak terjadi, pasti aku masih berada di pasar malam dengan Fian sambil menaiki bianglala. Kepalaku jadi pusing. Kupejamkan mataku dan kucoba untuk tidur sambil menggenggam kalung pemberian Fian. Tidur dalam suasana yang buruk. Semoga aku bermimpi indah…
Keesokan harinya, aku pun bangun dari tidurku yang tak senyenyak kemarin. Kusimpan kalung pemberian Fian yang kupegang erat. Sayang, aku tak bermimpi indah. Yang kuimpikan malah kejadian kemarin. Kucoba melenyapkan pikiranku tentang apa yang terjadi. Sungguh, itu membuat hatiku sakit sekali. Perasaanku campur aduk antara sedih dan marah.
Kugenggam smartphone-ku dan kutelepon seseorang. “halo? Kau sudah bangun?” kataku mencoba tersenyum meski sulit.
“siapa ini? Airin?” kata seseorang dari seberang telepon.
“kau tahu namaku dari mana? Dari nama di teleponmu, kan?” kataku sambil berjalan ke ruang tamu rumahku.
“ya. Kenapa kau meneleponku? Kau tahu aku sedang di rumah sakit, kan?” kata orang itu, yang tak lain adalah Fian.
“coba ingatlah aku. Aku adalah pacarmu, Fian. Percayalah…” kataku memohon.
“benarkah itu? Apakah perempuan sepertimu adalah pacarku? Apa cantiknya kamu? Kau hanya membuatku semakin pusing!” kata Fian dengan nada mengejek.
Aku terkejut. “apakah pria yang kutelepon mencintaiku? Sebelumnya iya. Tapi, aku tak tahu lagi sekarang. Maafkan aku telah mengganggumu…” kataku menutup telepon seketika.
“tak ada gunanya. Kami telah berakhir, kan?” kataku sambil melihat sebuah pot bunga berisi bunga mawar pemberian Fian di meja ruang tamu. Bunga itu cantik sekali. Melihatnya saja, aku seperti merasakan Fian di sisiku. Aku tak tahu. Apakah aku harus bersabar? Apakah aku harus setia? Apakah aku harus terus bersedih karenanya? Apakah aku harus terus mencintainya? Deretan pertanyaan menghujaniku. Aku tak tahu jawabannya. Dia sudah melupakanku. Tapi cintaku masih ada untuknya
Dua minggu pun berlalu. Aku belum juga melihat Fian. Dulu, jika Fian tak mendengar suaraku sehari saja, Fian pasti langsung menemuiku dimanapun aku berada. Aku selalu menelepon Fian sejak kejadian naas itu. Jawabannya selalu sama. Dia memang benar-benar lupa dan tak percaya bahwa aku pacarnya. Dia menganggapku bukan siapa-siapa lagi baginya. Aku pun pergi ke dapur pagi itu. Ada ibu dan ayahku sedang bersiap untuk pergi ke luar kota lagi. Aku tak mau pusing dan langsung memakan sandwich buatan ibuku. Aku hanya bisa kembali ke kamar lagi. Kupikirkan sesuatu untuk menghilangkan rasa jenuh dan sedih yang kurasa. Akhirnya, kuputuskan untuk pergi ke taman Kenanga menaiki sepedaku. Hembusan angin yang lembut pasti akan membuatku merasa lebih baik.
Taman Kenanga adalah tempat favoritku dan Fian. Kami selalu menghabiskan waktu disini dengan bunga-bunga yang cantik dan aliran air sungai kecil yang jernih. Burung-burung pun selalu menyambut siapapun yang datang dengan kicauan mereka disini. Aku pun menitipkan sepedaku kepada petugas keamanan disana. Lalu aku duduk di sebuah bangku taman yang terukir rapi dan indah. Aku bahkan tak sadar bahwa ada orang di sebelahku. Laki-laki yang memakai kacamata hitam itu melihatku heran karena aku langsung duduk saja tanpa melihat dia sedang duduk. Aku akhirnya sadar setelah mencerna maksud dari tatapan heran laki-laki itu. “oh… maaf, ya! Aku tak sengaja. Kicauan burung ini membuatku langsung duduk begitu saja tanpa memperhatikanmu. Maaf…” kataku bangkit berdiri. Laki-laki itu pun mengalihkan pandangannya dan membuka kacamata hitamnya. Aku sangat kaget.
“Fian! Kau kah itu?” kataku tak percaya.
“kau kah yang selalu menggangguku dengan sejuta telepon dan curhatmu?” kata Fian balas bertanya.
Wajahku yang senang berubah menjadi tersinggung. “mengganggu?!?” kataku setengah teriak.
“ya. Kau bahkan tampak seperti lalat pengganggu yang selalu hinggap di makanan orang.” Kata Fian sambil menoleh ke arah rotinya yang dihinggapi lalat.
Dibilang seperti itu oleh Fian tidak lagi membuatku sedih. Aku justru kesal sekali. “kau ini seenaknya saja! Dasar sombong! Memangnya aku ini apa?” kataku sambil menginjak kakinya sedikit. “aw… lihat? Kau itu pengganggu. Sudah cukup jelas, bukan?” kata Fian sambil pura-pura kesakitan.
“terserahlah!” kataku sambil berbalik meninggalkan Fian.
Baru lima langkah aku pergi, aku pun berhenti dan tertegun melihat seseorang. Fian menatapku heran. “hai, Airin! Aku masih ada. Jangan berpikir untuk lari dari masalah kita.” Kata orang itu. Siapa lagi kalau bukan Andi?
“siapa itu? Pacarmu, ya?” kata Fian membuatku berbalik ke arahnya. Ingin ku berkata dalam hati, ‘sebentar lagi aku dalam bahaya. Tolong aku, Fian!’.
“Ada apa denganmu, bodoh? Kau yang merebutnya dariku!” kata Andi kepada Fian. Fian pun berdiri, lima langkah di belakangku. Tampaknya ia kebingungan.
Aku baru sadar bahwa aku sedang berdiri di antara dua pria yang pernah menjadi pacarku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Tapi, aku pun berkata sesuatu. Ide gila ini muncul begitu saja di otakku. “minggir, Andi! Jangan mendekatinya! Jangan melukainya lagi!” kataku sambil menghadang pandangan benci Andi terhadap Fian.
Fian malah semakin bingung saja. Kurasa, Andi mulai tahu apa yang terjadi sebenarnya. “jadi, kalian sedang ada masalah, ya? Well, kalau begitu, kencan saja denganku, Airin! Dia kan sudah melupakanmu?” kata Andi kepadaku.
Aku kaget karena dia masih ingin menjadi pacarku. Tapi, keinginanku tak sejalan dengan Andi. “walaupun dia melupakanku, aku tak akan mau menerima pengkhianat sepertimu sebagai kekasihku! Pergilah!” kataku dengan tegas menolak tawarannya sekaligus mengusirnya.
Kelihatannya, ucapanku ini kurang berkenan di hatinya sehingga membuat Andi menghampiriku dan tampaknya akan menamparku. Seperti dulu, aku tutup mata lagi. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Sampai akhirnya, kurasa seseorang menghampiriku juga dengan pelan. Kutundukkan kepalaku karena terdengar langkah kaki Andi yang semakin dekat.
PLAK!!! Suara pukulan Andi terdengar jelas. Namun, aku lagi-lagi tak merasakannya seperti dahulu. Saat kubuka mataku, ternyata ada Fian yang menangkis tamparan Andi. Andi pun terpental dan jatuh beberapa langkah ke belakang. Aku kaget dan senang. “kau tidak apa-apa, kan?” kata Fian. Kelihatannya, Fian masih kambuh amnesianya. Aku hanya tersenyum. Hal ini takkan lama, bukan?
Sejenak kami terdiam. Aku baru sadar bahwa Andi mulai berdiri lagi dan bersiap memukul Fian dari belakang. Sayang, Fian tidak melihatnya. Kecepatan Andi membuatku tak sempat memberitahu Fian. Aku kemudian dengan cepat berada di belakang Fian dan mendorong Fian jauh-jauh. PLAK!!! Sebuah pukulan keras mendarat di leherku. Aku pun terjatuh. Fian pun segera menyadari apa yang terjadi dan langsung memberi hadiah kepada Andi berupa pukulan keras di perut. Setelah Andi terjatuh dan tak mampu lagi berdiri, Fian langsung menghampiriku dan meraih punggungku ke pangkuannya sambil terduduk cemas. Aku benar-benar pusing. Mataku berkunang-kunang. “kau baik-baik saja? Tidak parah, kan?” kata Fian penuh khawatir. Kucoba menangkap apa yang dikatakannya. Aku hanya memanggil namanya. Fian memegang leherku. Tanpa sengaja, dia memegang kalung yang dulu ia berikan kepadaku. Matanya tampak terbelalak kaget. Dia memegang kepalanya sambil memejamkan mata erat-erat. Aku mendengar sepintas bahwa ia berkata, “Airin…”. Lalu, aku tak tahu apa yang kemudian terjadi. Aku pingsan.
Aku terbangun dan melihat diriku sedang berbaring dalam sebuah kasur. Bau obat-obatan yang khas tercium di hidungku. Aku tahu, ini di rumah sakit. Leher dan pundakku terasa ngilu dan sakit. Kulihat sekeliling. Hanya ada Ani dan seorang laki-laki yang membelakangiku. “semua salahku…” kata laki-laki itu. Aku tahu suara ini suara siapa. Pasti Fian! Mereka berdua belum menyadari bahwa aku telah terjaga. “Fian…” kataku lemah.
Fian segera berbalik dan menggenggam erat tangan kananku. “kau sudah bangun? Kau tidak apa-apa kan, Airin?” katanya khawatir.
Aku tersenyum. “aku tak apa-apa. Janganlah khawatir.” Kataku mencoba menenangkannya. Lalu, aku benar-benar sadar akan sesuatu. “kau ingat aku?” kataku kepada Fian. Kuharap, kali ini aku sangat berharap dia ingat aku. “sepertinya tidak… tidak akan melupakanmu lagi. Maafkan aku karena telah melupakanmu. Aku janji akan terus mengingatmu selamanya. Aku janji akan terus berusaha menjadi seorang kekasih yang baik.” kata Fian sambil tersenyum memegang kedua tanganku dan mengelus rambutku yang sedikit berantakan dengan pelan. Kami tertawa bersama. Syukurlah, Fian sudah ingat aku lagi. Perasaanku bagaikan terbang ke langit ketujuh saking bahagianya.
Seminggu kemudian, aku benar-benar boleh pulang dari rumah sakit. Semenjak hari itu, aku dan Fian selalu bersama seperti biasanya. Kami mulai sering lagi pergi bersama ke taman Kenanga atau ke pasar malam sambil menaiki bianglala. Aku sangat bahagia karena keadaan sudah kembali normal seperti biasanya. Sementara itu, aku tak pernah lagi melihat batang hidung Andi. Dia mendadak hilang entah kemana. Tapi, yang paling penting adalah kebersamaanku dan Fian. Aku bahagia sekali. Rasanya tak dapat kulukiskan. Kuharap, cinta kami berdua abadi untuk selamanya.
“Jika kita berusaha dan tetap setia, kita akan mendapatkan cinta yang kita inginkan selama cinta tersebut adalah hak kita.”

THE END..

You’re Sky, I’m Earth

You're Sky, I'm Earth

 Kau langit yang tak mungkin tersentuh oleh gapaian tanganku
Di sini, bumi, tempatku berpijak
Hanya berandai-andai setiap menatapmu
Kau yang jauh di sana
Akankah bisa bersatu?
Nya, lihatlah ke blkg…
Mendapati Short Message Service yang baru dibukanya, Anya membalikkan badannya, mencari sosok yang mengirimi pesan tersebut kepadanya. Sebuah blitz seketika menimpa wajahnya, silau. Terlihat senyum simpul yang mengembang dalam wajah di balik kamera digital yang baru saja membidik. Dasar Benny. Anya menimpalinya dengan senyuman manis.
“Ayo, bergayalah.” Benny Mengangkat kameranya siap memotret kembali.
Malu-malu, Anya dalam balutan seragam abu-abu putihnya mengangkat telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.
“Ben, aku juga mau donk.”
Seorang gadis lain datang langsung berpose di depan Benny, membelakangi bangku Anya.
“Tapi bukan di sini. Di luar, lebih bagus pencahayaannya.”
Benny mengangkat bahunya. “Baiklah. Fani”. Dia bangkit dari bangkunya menyusul Fani yang berjalan dahulu. Tangannya melambai saat melewati bangku Anya. Keduanya menghilang di balik pintu.
Terdengar suara pintu yang tergeser, diikuti derap langkah kaki-kaki memasuki toilet. Riuh suara gadis-gadis itu.
“Sudah kubilang kan, produk itu tidak cocok denganmu. Lihat, wajahmu sekarang.” Seru gadis dengan suara manja.
“Ah, mana kutahu. Tante Mega yang memberiku cuma-cuma, siapa yang tak mau. Lagian kau tahu sendiri kan bagaimana aku ingin terlihat putih dan bersih.” Timpal gadis lain bersuara cempreng.
“Lain kali, turuti ucapanku. Begitukan hasilnya?”
Sesaat sunyi senyap. Menyisakan suara gemericik air.
“Hmm… aku sangat iri dengannya.” Gadis cempreng itu berkata.
“Siapa?”
“Kau tahu sendiri, gadis tercantik di SMA ini, kalau bukan Fani.”
“Kau benar, ia betul-betul cewek idaman. Cantik, kaya, pintar, ketua pemandu sorak dan seorang model pula. Ahh, mengapa semua kesempurnaan Tuhan berikan kepadanya.”
“Tapi, Tuhan adil.” Kali, gadis lain nimbrung bicara. Suaranya tenang berbeda dengan kedua lainnya. “Soal cinta, ternyata Fani masih belum berhasil mendapatkan hati Benny.”
Seseorang menggerutu, suaranya cempreng.
“Bagaimana berhasil, jika gadis jelek itu selalu di samping Benny. Apa sih spesialnya dia? Sampai-sampai si tampan itu juga mendekatinya. Aku rela, dia bersanding dengan Fani. Tapi dengan Anya, aku sangat tidak terima.”
“Aku sendiri juga tidak mengerti. Apa sih yang dilihat darinya. Pendek, berkacamata, dan kucir kudanya yang selalu bikin aku tidak nyaman tiap melihatnya.” Ujar gadis centil.
Tiba-tiba bel berdering. Percakapan mereka terhenti. Pelajaran selanjutnya akan dimulai.
Pintu toilet kembali tergeser, gadis-gadis itu keluar dengan suara riuhnya kembali. Tertutup kembali. Sepi. Meninggalkan suara tetes air yang mengalir dari kran wastafel yang tidak sepenuhnya tertutup rapat. Dari ujung kamar toilet, terdengar suara air yang terbilas. Pintunya terbuka. Seorang gadis keluar. Kacamata yang selalu bertengger di atas hidungnya, dilepasnya. Matanya menatap bayangannya sendiri dalam cermin panjang yang mengisi sepanjang dinding.
“Kurasa benar” dia mendesah.
Tiba-tiba terdengar lagu Mata Aimashou- Seamo. Anya segera mengambil ponsel genggamnya, ada SMS masuk. Segera dibukanya.
Pastikan kau datang ya. Sebentar lagi akan datang kiriman. Ku harap kau memakainya nanti. Aku akan senang melihatmu di sana. Sampai ketemu. Let’s party.
Anya melepaskan tatapannya dari layar laptop di hadapannya. Matanya menerawang ke jendela. Korden putih yang menghiasi jendela itu bergerak-gerak terhembus angin, membuka cakrawala di luar. Langit terlihat cerah, biru menenangkan. Menyeduhkan mata yang memandang. Namun bagi Anya. langit siang itu mendung. Saat ini dunianya berkubang dalam kegalauan.
Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana, Ben? Kalau kau terus begini, kau membuatku tidak nyaman…
Seharian HP-nya sudah puluhan penuh SMS dan miss-called Benny. Menyerah akhirnya Anya memutuskan untuk datang. Kurasa semuanya akan baik-baik saja. Aku cuma cukup datang dan setelah itu pergi.
“Anya.” Suara itu memanggilnya.
Anya menoleh, melihat seseorang dalam balutan jas putih berjalan menerobos kerumunan ke arahnya. Kafe besar itu ramai, bukan karena para pengunjung yang ingin menikmati secangkir kopi atau steak daging domba, namun oleh para remaja yang mengobrol riuh dalam pesta ulang tahun. Suara musik mengalun dalam keindahan sang malam.
Anya menahan napasnya sejenak. Lalu perlahan-lahan ia mengembuskannya ketika Benny datang menghampiri.
“Aku tahu, kau pasti datang.” Senyum Benny lebar.
“Kau benar-benar cantik sekali malam ini, Anya.”
Tiba-tiba seseorang berseru memanggil Benny. Mereka menoleh. Di seberang ruangan, seseorang melambai. Benny membalas dengan lambaiannya tangannya pula. Lalu beralih menatap Anya.
“Kau tak apa, kutinggal sebentar.”
Anya menggangguk. “Baiklah.”
Setelah melihat sosok Benny menghilang di antara kerumunan orang-orang, Anya berjalan ke arah meja yang berisi banyak kudapan.
“Hei, Anya,” sapa Nita dengan suara cemprengnya saat Anya berdiri mengambil salah satu kue dengan pinggiran krim untuk dimakannya.
Anya menoleh. Geng tiga cewek yang menyebut diri mereka, wondergelis, muncul di hadapannya.
“Woo, lihat si bebek buruk rupa malam ini seperti angsa putih.”
Terdengar suara “wuuu” mengekor dari dua cewek lainnya. Ketiganya seakan senang. namun Anya tak menghiraukan. Ia memilih mengisi piringnya dengan kue-kue. Daripada menanggapi ocehannya, lebih baik mengisi perut yang kelaparan sedari sore.
“Namun sayangnya sang pangeran tidak tertarik padanya. Dia lebih memilih bicara dengan putri yang sejati.”
Kali ini, Anya menghiraukan. Mata Anya dilayangkan ke seberang ruangan. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Sesak.
“Serasi sekali mereka. Si tampan Benny dan si cantik Fina” Sanjung Feli, dengan suara yang terkesan manjanya.
“Kau tahu, langit sangat jauh dengan bumi. Biarkan ia bersanding dekat dengan sang bintang yang berkilau. Itu akan terlihat sangat cantik. Jadi, kuharap menyingkirlah kau”.
Nita menyunggingkan senyum sini, “Sangat mudah seperti angin… fiuuuhhh.” Tangannya mengibas kasar mengarah ke piring Anya.
“Ups, aku tidak sengaja.” Nita mengalihkan pandangannya ke arah lain, seakan tak berdosa. Gaun Anya kini pun penuh noda krim.
“Itu memang pantas bagimu.” Sambung Nita.
Suara tawa ketiganya membahana.
“Kau sungguh memalukan, Nita.”
Benny berseru, dia berjalan cepat menghampiri mereka.
“Kukira ku sudah berubah, tapi tidak. Aku tahu kau yang menyebar gossip itu. Aku tak suka kau mengejek Anya.”
“Tapi, Ben. Aku tak suka dia selalu berada di sisimu.”
“Itu menurutmu, tapi aku mencintainya.”
Mata Nita terbelalak. Tak percaya. Feli dan Reta –cewek satunya-. Seluruh ruangan hening. Tak ada percakapan.
Benny langsung mengandeng Anya. Membawanya keluar dari pesta.
Di luar udara berhembus dingin. Tiada suara. Hening.
“Maafkan mereka.” Benny membuka mulutnya.
Anya menunduk. Kepalanya menggeleng.
“Mereka tak salah, aku yang salah memposisikan diri. Dari awal seharusnya aku tak di sini.”
Anya tak berani menatap Benny. “Maafkan aku,” Kakinya melangkah pergi.
Tiba-tiba tangan Benny memegang siku Anya, menahannya untuk tidak pergi. “Ini juga berat bagiku. Jangan pergi dariku. Tetaplah di sisiku.”
Kaki Anya tertahan. Napasnya tercekat kembali.
“Kau tak perlu sempurna. Adanya kau, sudah melengkapi hidupku. Apa yang kukatakan tadi di dalam, tulus. Maafkan aku yang selama ini tidak tegas dalam hubungan ini. Aku sungguh mencintaimu, Anya”.
Malam itu langit terlihat cerah disinari rembulan. Bersih tanpa bintang-bintang yang berkelip menghiasinya seperti malam-malam sebelumnya. Menjadi saksi akan dua insan remaja berpelukan, mengikat kasih. Tanpa perbedaan di antaranya.

THE END..

Sepotong Coklat Hati

Sepotong Coklat Hati

 Aku terlelap dalam mimpi indah ku yang mampu membawa ku dalam ketenangan. Entah sampai kapan laki-laki separuh baya ini masih menemani di sampingku. Setelah aku sadar kehadiran laki-laki ini membuatku terasa dalam kehidupan damai dengan melawati jalan tanpa sebuah cacat sedikit pun. Kehadiran laki-laki ini mampu membuatku tersenyum lepas.
Dia bagaikan matahari yang selalu membantu bulan untuk menyinari bumi walau memang pada malam hari ia tak kunjung datang. Namun Bulan, dia terlihat sendiri tapi, tak dapat berdiri sendiri.
Itulah kehidupanku, aku diciptakan dengan kedua kaki ku untuk berjalan melangkah secara bergiliran. Hati ku terlelap sendiri, tapi tak dapat berdiri sendiri. laki-laki itulah yang telah berani mengambil hati ku. Sekarang, dimana tanggung jawabnya. Dimana ia sekarang, aku sudah muak menerima ini. Hanya sebatang Coklat itulah yang kau beri kepada ku sebagai tanda tanggung jawab.
“Bulan, aku ingin kita ke puncak Besok”.
Aku heran dengan ucapan teman dekatku. Jarang bahkan mungkin sama sekali tak pernah ia mengatakan ingin ke puncak. Mata ku telah berhasil dibuatnya terbelalak.
“Ha? untuk apa Binar? Tidak, aku nggak akan ngizinin kamu pergi. Kamu punya kaca kan? Lihat keadaanmu sekarang!”. Jujur saja, aku sangat khawatir dengan keadaannya. Bibirnya pucat, semangatnya kini hilang diterpa angin dan terbawa oleh gelombang air laut. Matanya tak lagi cerah, bak air sungai tercemari Sampah-sampah jahat menyerang.
“Hmm, sebelum hari Valentine”
“Valentine?” Desisku panjang.
Hari ini mata ku terasa segar kembali melihat pohon-pohon mengayun bergoyang pelan. Daun-daun menari disorong angin sepoi-sepoi.
Berulang kali aku tersenyum melihat semua yang telah ditangkap oleh Mataku sendiri.
Tak sadar aku kembali merasakan kenyamanan. Tangan ku digenggam erat oleh Binar. Diciumnya beberapa kali tanpa rasa bosan menyelinap hatinya. Dia hanya menatap kedua mata ku dengan sangat lekat. Di setiap sudut mataku, ia lakukan hal yang sama.
Menerobos masuk ke dalam bagian dalam pupil mataku.
“Happy valentine” ujarnya sesekali mencium tanganku yang sudah berhasil berkeringat karena ulahnya.
“Hmm, kenapa kamu lakukan ini semua”
Suasana hening, tak terdengar alunan suara darinya. Ia hanya menyodorkan Coklat berbentuk hati dilindungi oleh kardus indah berwarna pink dengan putih sebagai atapnya. Jadi, dengan mudah mengintip isi kardus itu dengan mudah. Binar mengambilnya dari saku celana Jinsnya. Ia tersenyum padaku.
“bawa coklat ini pulang, oh ya dibuka nanti malam. Just for you”
Ku gelengkan kepala ku pelan. Ini semua seperti mimpi seorang Putri mendapatkan sebuah coklat dan untuk membukanya saja punya aturan.
Kubuka perlahan isi kardus Valentine yang Binar berikan tadi. Aku semakin. Tak mengerti dengan semua ini. Terselip sebuah kertas berisi goresan tangan Binar bertinta merah.
Jantungku semakin berdetak tak karuan. Kubaca dengan sangat teliti surat dari Binar.
(Bulan, maafkan aku. Aku sengaja meninggalkanmu. Aku tak ingin dekat denganmu dalam keadaanku seperti ini. Aku harus menjalankan Operasi di Jepang. I love you.. Aku akan kembali saat keadaanku memang benar-benar sehat. Entah itu 10 tahun lagi. Aku harap kamu juga mencintaiku.. Terimalah coklat hati dari ku I love you)
“Binar!” Teriakku diiringi dengan kesedihan hati, jiwa dan mata. Aku tak dapat membendung air yang telah bergenang di mataku. Suara ku kini telah mampu memenuhi ruangan, hingga orang-orang yang tak tau apa yang aku rasakan, mengira aku sudah gila. Kudekap coklat hati darinya. Tak ada bagian coklat yang aku cuil sedikit pun.
Hingga akhirnya, aku datang setiap harinya ke tempat pertama coklat ini jatuh di tanganku. Hanya suara ayunan lemah angin menghantam pelan dedaunan dan kicauan burung bernyanyi.
Aku sedikit kecewa dengannya. Binar? Dimana kamu sekarang.. Aku terduduk lemas tanpa energi yang tersisa. Aku duduk lagi-lagi di tempat pertama coklat itu jatuh di tanganku.
“Binar!!! Dimana kamu! Ini sudah hari Valentine tahun ke 14. Tapi dimana letak bantang hidungmu! Kau jahat!” Aku teriak sekeras mungkin berharap seseorang yang ku harapkan mendengarnya.
Sebuah lemparan coklat dengan kertas di atasnya entah dilempar dari mana asalnya, itu cukup membuat hati ku agak terdorong lega dan sedikit demi sedikit dapat merasakan nafas yang setiap kali kuhirup.
Kubuka perlahan isi surat itu..
Dan..
(aku sudah menyuruh seseorang untuk mengirimkan 14 coklat ku untuk mu di rumahmu. Aku rasa, aku tak dapat melanjutkan mengirimkan coklat untuk valentine selanjutnya. Aku terbaring lemas di atas ranjang kasur rumahku di Indonesia telah lama kurang lebih 3 bulan. Aku ingin kau berikan aku cukup 1 coklat hati untuk yang terakhir kalinya, aku ingin disaat bulan kehilangan cahaya Binarnya. Datanglah di rumahku, aku akan mengabadikan semuanya sampai tutup usia ku)
Aku terbaring di atas rerumputan hijau menggelar di atas bumi. Melawan panasnya matahari, dan memandang luasnya langit biru.
Binar tak berubah bagi ku. Dia tetap berhasil membuat tanganku berkeringat. Dia terbaring lemah di sampingku.
Ku ambil coklat hati dari tas pinggang pink ku yang sudah kusediakan tadi.
Ku angkat tinggi-tinggi coklat hati. Kupotong menjadi 2 bagian. Dan bagian 1 ku berikan kepada binar.
“Ini. Just for you. Kamu tau betapa sakitnya coklat dibagianku karena sudah ku pisahkan dengan coklat pasangannya. Jadi, inilah keadaanku saat kau pergi separuh hati ku mengikuti dimana setiap kau pergi. Aku mohon, kamu kuat melawan penyakitmu.” Ujarku memeluknya. Badanya semakin dingin tak melakukan gerakan sedikit pun. Coklat hati yang ia pegang tiba-tiba lepas sendirinya. Nafasku mulai terpenggal-penggal. Kugoyangkan tubuhnya. Tak ada reaksi.
Kugenggam erat tangannya. Ku letakkan separuh coklat hati di dadanya. Tubuhku masih terhempaskan pada rumput hijau bersama laki-laki yang aku cintai. Kuletakkan separuh coklat hati milikku tepat di hatiku. Aku tersenyum. Aku memandang putihnya awan, birunya langit dan cerahnya matahari, namun pandanganku sedikit demi sedikit gelap. Nafasku sedikit demi sedikit menghilang. Genggamanku mulai terlepas. Kini kurasakan, terbang.
Terbang jauh tinggi bersama Binar menggunakan burung sebagai transportasinya. Kugenggam separuh coklat hati. Binar pun tak mau kalah. Aku bercanda, tertawa, bahagia dan tersenyum di atas langit biru bersamanya..
Bersama Binar dan sepotong Coklat Hati….
Baru ku tau arti sebuah Valentine. Hampir 14 tahun lamanya hati ku menghilang entah kemana, 14 tahun memendam rasa kasih sayang.
14 tahun aku dibuat jera olehnya.
Hingga Valentine yang terakhir kali aku rasakan, inilah hari kasih sayang yang tergambar jelas pada terakhir sampai ku tutup usia dengan Binar.
Tangan ku digenggam erat olehnya. Kupeluk tubuhnya. Kita berdua tersenyum memandang orang-orang di hari Valentine dan Coklat hati.
Aku rasa aku sangat bahagia hidup tidur nyenyak di awan putih bersama Binar.
Dan aku menemui Bulan seperti halnya nama ku.
Aku tak memikirkan apakah tubuhku dengan tubuh binar sudah dikuburkan. Karena yang aku tahu, sepotong coklat hati menempel pada dadaku dan dadanya.
Inilah kisah Cinta ku pada Valentine.
Terbang bersama Binar dan… Sepotong Coklat hati…

THE END..