Jangan Pernah Lupakan Aku Lagi
Pagi ini, burung-burung tampak berkicau menyapaku. Sinar matahari
yang hangat menyelimuti pagi yang indah ini. Aku mulai membuka mata dari
tidur lelapku. Kulihat jam dinding biruku menunjukkan pukul 6 pagi. Aku
pun turun dari tempat tidur hello kitty pemberian ayahku. Ini adalah
pagi di hari Minggu yang sempurna.
Smartphone-ku mulai berdering, menunjukkan bahwa ada yang menelponku
yang masih berpiyama. Kuangkat telepon itu. “halo, Fian… aku masih
ngantuk, nih…” kataku manja.
“kamu sudah tidur berapa jam? Ini sudah pagi. Sebaiknya kau segera
mandi. Aku tunggu kau di taman Kenanga pukul 8. Bye-bye, Airin!” kata
seseorang di seberang telepon yang tak lain adalah Fian, pacarku.
“aku akan datang. Bye-bye, Fian…” kataku. Sungguh, kata-katanya begitu
singkat dan berarti. Aku sangat mencintainya. Begitu juga Fian. Aku
selalu berusaha agar tak terjadi masalah antara kami berdua. Hidupku itu
harus, terus, dan memang simple. Kadang, kami saling membuat ulah.
Tapi, kata maaf yang tulus pun menyelesaikan semuanya.
Aku tak mau berlarut-larut dalam kicauan burung yang hinggap di kabel
listrik di luar jendelaku. Aku pun segera mandi dan merapikan
penampilanku. Rambut, atasan, rok, gelang, kalung, tas, kaus kaki, flat
shoes, sampai ke isi dompet aku persiapkan sebaik-baiknya agar tak
terlihat mengecewakan di hadapan Fian. Aku juga tak lupa untuk
mengenakan kalung pemberian Fian. Aku tentu senang. Ini adalah kencan
ke-empatku dengan Fian. Laki-laki yang tampan dan pengertian itu telah
mencuri hatiku, bak Cinderella yang menemukan pangerannya.
Sebelumnya, dia adalah temanku yang terbaik. Waktu itu, aku masih
memiliki seorang pacar, namanya Andi. Aku pun putus dengan Andi karena
dia punya simpanan. Seiring waktu berlalu, aku dan Fian mulai saling
menyukai, dan pada akhirnya kami saling mencintai. Begitulah, setidaknya
aku punya kekasih yang selalu mengerti aku. Aku tersenyum sendiri
setelah mengingat masa laluku yang penuh suka duka. Walaupun masih ada
waktu 30 menit sebelum pukul 8 pagi, aku segera mengenakan sepatuku dan
pergi jalan kaki ke taman Kenanga, taman bunga paling cantik di kota.
Baru setengah perjalanan, matahari pun menipuku. Cuaca yang begitu
cerah tiba-tiba berubah menjadi redup dan turunlah hujan yang cukup
membuatku basah. Aku segera berteduh ke dalam sebuah toko kue. “hmm… aku
tak bawa payung.” Keluhku. Aku pun berdiri mematung memandang tetesan
hujan dari balik jendela toko tersebut.
“Airin… kau kembali lagi… apa si bodoh Fian itu akan kencan denganmu
hari ini? Apa kau lupa padaku?” kata seorang pegawai toko kue tersebut.
Suaranya sangat familiar di telingaku.
Saat aku berbalik, aku benar-benar terkejut. “An.. Andi? Kau kah itu?”
kataku tak percaya. Di saat orang lain bersekolah, dia malah menjadi
pegawai toko kue.
“kau khianati aku. Kau pasti mengingatku.” Katanya membuatku yakin bahwa yang berdiri disana itu mantan pacarku.
“aku tak mengkhianatimu. Kaulah yang mengkhianati aku!” Kataku sadar dari keterkejutanku.
“begitukah? Kau sudah menyukai Fian dan mulai tak memperdulikanku. Apa
itu jelas? Kau harus membayarnya.” Kata Andi penuh rasa dendam.
Aku mulai takut. “membayarnya? Apa maksudmu?” kataku bingung dan takut. Aku mulai mundur perlahan.
“kau pikir rasa sakit hatiku itu masalah kecil? Tiap kali melihatmu
dengan Fian, hatiku sakit. Aku takkan membiarkan kau bahagia. Akan
kupastikan itu.” Katanya serius. Tangannya mengepal penuh benci. Dia
bisa saja melukaiku. Tapi, yang paling kutakutkan adalah apa yang
terjadi jika Fian terluka karenanya.
Aku mulai mundur, berbalik, dan lari. Tentu saja, Andi mengejarku di tengah hujan yang masih mengguyur kota ini.
Aku tak tahu harus lari kemana. Kecepatan lari Andi membuatku tak
bisa berpikir. Aku terus berlari. Hingga akhirnya, aku terperangkap di
sebuah gang sepi. Apalagi, gang tersebut buntu. Hanya ada sebuah kolam
di ujungnya. Aku berjalan mundur sambil melihat Andi sudah siap
memukulku dengan sebuah tongkat kayu. “bersiap-siaplah untuk pergi,
Airin… ha ha ha…” kata Andi sambil mempererat pegangannya kepada pemukul
kayunya. Dia pun mulai mengayunkan batang kayu di tangannya. “jangan!”
teriakku sambil mentup mataku. PLAK!!! Aku merasa tidak kesakitan
ataupun kehilangan nyawaku yang hanya satu.
Kubuka mataku. Aku senang sekaligus terkejut. “Fian! Kau datang!” seruku
saat melihat Fian memukul bahu Andi sehingga Andi terjatuh. “kau tidak
apa-apa?” kata Fian kepadaku. Dia nampak sangat pAnik.
“aku tidak apa-apa. Terima kasih telah datang…” kataku salut dengan kedatangannya.
“semuanya takkan berhenti sampai disini!” teriak Andi mulai berdiri.
“berhentilah! Atau aku akan melukaimu.” Kata Fian dengan berani.
Aku khawatir dengan Fian. Kemarin, kakinya keseleo. Apa dia bisa bertahan?
“lakukanlah jika kau bisa!” kata Andi sambil memulai serangannya.
Kupengang erat kalung pemberian Fian. Selain itu, aku hanya bisa
memegang erat kalung pemberian Fian yang kukenakan dan berharap. Kau
bisa, Fian. Kau bisa.
Fian dan Andi berkelahi cukup sengit. Pukul sini, pukul sana, tendang
sini, tendang sana. Begitu terus berulang. Aku mulai menangis. Aku
benar-benar takut dan cemas. Dan akhirnya, Fian bisa menjatuhkan Andi ke
sebuah kolam ikan di ujung gang tersebut. Cukup dalam, memang. Tapi,
Fian kehilangan keseimbangan serta mendadak pusing dan terjatuh pingsan.
Kepalanya berdarah mengenai sebuah batu hitam besar.
Aku pun menelepon Ani, adiknya Fian sekaligus sahabat baikku, untuk
datang dan mencari bantuan. Berselang lima menit, Ani pun datang dengan
mobilnya yang mewah. Fian pun dibawa ke rumah sakit. Aku juga ikut.
Sebelum menaiki mobil, aku berbalik dan menatap Andi tengah berusaha
naik dari kolam itu.
“Fian… kau sudah sadar?” kataku saat Fian membuka mata. Cuaca hujan
beserta ac yang dingin membuatku serasa membeku. “dimana aku?” kata Fian
masih pusing.
“ini di rumah sakit. Kakak tidak apa-apa?” kata Ani kepada kakaknya. Sepertinya, Ani juga sangat cemas.
“kau baik-baik saja, kan?” kataku memegang tangannya.
“siapa kau? Siapa kalian? Kenapa aku ada disini? Dan… siapa aku?” ucap
Fian membuat semua orang di ruangan itu, yang sebenarnya hanya aku dan
Ani, tidak percaya dan kaget.
“kau bercanda, kan? Kau tak sungguh-sungguh melupakan kami, kan? Aku
adikmu! Coba ingat, kak…” kata Ani mulai menangis. Dari wajahnya, Fian
terlihat benar-benar serius dan benar-benar lupa.
aku juga mulai kebingungan. “kau ingat aku? Aku pacarmu. Kau ingat? Atau, kau lupa?” kataku berharap dia akan ingat.
“kau adikku? Kau pacarku? Aku sungguh lupa… apa yang terjadi, aku tidak ingat sama sekali.” Kata Fian ikut-ikutan bingung.
Aku mulai melepas genggaman tanganku kepadanya. “Ani… ayo keluar dulu.
Fian pasti butuh waktu untuk mengingatnya kembali. Semoga saja… Fian
ingat lagi,” kataku sambil menarik Ani keluar kamar.
“namaku Fian, ya?” kata Fian pelan. Aku tak percaya. Dia pasti amnesia. Hari yang sempurna ini jadi kacau balau.
“dia terkena amnesia. Kami perlu meneliti lebih lanjut tentang
amnesia jenis apa yang dideritanya.” Kata seorang dokter yang merawat
Fian. Kenapa ini terjadi? Ani masih bengong terkejut. Aku mengajak Ani
pergi dari ruang dokter.
Dari luar jendela kamar Fian, aku melihat pacarku itu sedang duduk
termenung. Dia sepertinya sedang mencoba mengingat-ngingat asal-usulnya.
Beberapa saat kemudian, dia tampak pusing dan memegang kepalanya. Tentu
saja, dia pasti masih lupa. orangtua Fian pergi ke luar negeri untuk
beberapa minggu kedepan. Ani tidak memberitahu orangtuanya tentang
kejadian ini. Aku menangis sekali lagi. Pakaianku masih basah karena
hujan tadi. Fian terkena amnesia karena benturan di kepalanya. Dia
terbentur karena berkelahi dengan Andi. Dia berkelahi dengan Andi karena
berusaha menyelamatkanku. Semua berawal dari diriku. Aku merasa sangat
bersalah. Fian terluka karena aku. Aku takkan bisa memaafkan diriku
sendiri. Aku membalikkan badan. Aku kemudian melangkah pulang setelah
pamit kepada Ani. Aku melirik Fian sekilas. Rasa bersalah ini terus
menghantuiku.
Aku pulang dengan langkah yang berat. Aku kesal kepada diriku
sendiri. Kuhempaskan badan yang masih sedikit basah ini ke tempat tidur.
“setidaknya, Fian masih selamat…” kataku dalam hati.
Aku pun kemudian mandi. Kulihat jam dinding di kamarku. Ternyata
sudah pukul 8 malam. Tidak ada seorang pun di rumah. Aku adalah anak
tunggal. Sementara ayah dan ibuku sering pergi ke luar kota untuk urusan
bisnis. Suasana yang membosankan dan hening pun terjadi di rumahku.
Jika hal buruk ini tak terjadi, pasti aku masih berada di pasar malam
dengan Fian sambil menaiki bianglala. Kepalaku jadi pusing. Kupejamkan
mataku dan kucoba untuk tidur sambil menggenggam kalung pemberian Fian.
Tidur dalam suasana yang buruk. Semoga aku bermimpi indah…
Keesokan harinya, aku pun bangun dari tidurku yang tak senyenyak
kemarin. Kusimpan kalung pemberian Fian yang kupegang erat. Sayang, aku
tak bermimpi indah. Yang kuimpikan malah kejadian kemarin. Kucoba
melenyapkan pikiranku tentang apa yang terjadi. Sungguh, itu membuat
hatiku sakit sekali. Perasaanku campur aduk antara sedih dan marah.
Kugenggam smartphone-ku dan kutelepon seseorang. “halo? Kau sudah bangun?” kataku mencoba tersenyum meski sulit.
“siapa ini? Airin?” kata seseorang dari seberang telepon.
“kau tahu namaku dari mana? Dari nama di teleponmu, kan?” kataku sambil berjalan ke ruang tamu rumahku.
“ya. Kenapa kau meneleponku? Kau tahu aku sedang di rumah sakit, kan?” kata orang itu, yang tak lain adalah Fian.
“coba ingatlah aku. Aku adalah pacarmu, Fian. Percayalah…” kataku memohon.
“benarkah itu? Apakah perempuan sepertimu adalah pacarku? Apa cantiknya
kamu? Kau hanya membuatku semakin pusing!” kata Fian dengan nada
mengejek.
Aku terkejut. “apakah pria yang kutelepon mencintaiku? Sebelumnya iya.
Tapi, aku tak tahu lagi sekarang. Maafkan aku telah mengganggumu…”
kataku menutup telepon seketika.
“tak ada gunanya. Kami telah berakhir, kan?” kataku sambil melihat
sebuah pot bunga berisi bunga mawar pemberian Fian di meja ruang tamu.
Bunga itu cantik sekali. Melihatnya saja, aku seperti merasakan Fian di
sisiku. Aku tak tahu. Apakah aku harus bersabar? Apakah aku harus setia?
Apakah aku harus terus bersedih karenanya? Apakah aku harus terus
mencintainya? Deretan pertanyaan menghujaniku. Aku tak tahu jawabannya.
Dia sudah melupakanku. Tapi cintaku masih ada untuknya
Dua minggu pun berlalu. Aku belum juga melihat Fian. Dulu, jika Fian
tak mendengar suaraku sehari saja, Fian pasti langsung menemuiku
dimanapun aku berada. Aku selalu menelepon Fian sejak kejadian naas itu.
Jawabannya selalu sama. Dia memang benar-benar lupa dan tak percaya
bahwa aku pacarnya. Dia menganggapku bukan siapa-siapa lagi baginya. Aku
pun pergi ke dapur pagi itu. Ada ibu dan ayahku sedang bersiap untuk
pergi ke luar kota lagi. Aku tak mau pusing dan langsung memakan
sandwich buatan ibuku. Aku hanya bisa kembali ke kamar lagi. Kupikirkan
sesuatu untuk menghilangkan rasa jenuh dan sedih yang kurasa. Akhirnya,
kuputuskan untuk pergi ke taman Kenanga menaiki sepedaku. Hembusan angin
yang lembut pasti akan membuatku merasa lebih baik.
Taman Kenanga adalah tempat favoritku dan Fian. Kami selalu
menghabiskan waktu disini dengan bunga-bunga yang cantik dan aliran air
sungai kecil yang jernih. Burung-burung pun selalu menyambut siapapun
yang datang dengan kicauan mereka disini. Aku pun menitipkan sepedaku
kepada petugas keamanan disana. Lalu aku duduk di sebuah bangku taman
yang terukir rapi dan indah. Aku bahkan tak sadar bahwa ada orang di
sebelahku. Laki-laki yang memakai kacamata hitam itu melihatku heran
karena aku langsung duduk saja tanpa melihat dia sedang duduk. Aku
akhirnya sadar setelah mencerna maksud dari tatapan heran laki-laki itu.
“oh… maaf, ya! Aku tak sengaja. Kicauan burung ini membuatku langsung
duduk begitu saja tanpa memperhatikanmu. Maaf…” kataku bangkit berdiri.
Laki-laki itu pun mengalihkan pandangannya dan membuka kacamata
hitamnya. Aku sangat kaget.
“Fian! Kau kah itu?” kataku tak percaya.
“kau kah yang selalu menggangguku dengan sejuta telepon dan curhatmu?” kata Fian balas bertanya.
Wajahku yang senang berubah menjadi tersinggung. “mengganggu?!?” kataku setengah teriak.
“ya. Kau bahkan tampak seperti lalat pengganggu yang selalu hinggap di
makanan orang.” Kata Fian sambil menoleh ke arah rotinya yang dihinggapi
lalat.
Dibilang seperti itu oleh Fian tidak lagi membuatku sedih. Aku justru
kesal sekali. “kau ini seenaknya saja! Dasar sombong! Memangnya aku ini
apa?” kataku sambil menginjak kakinya sedikit. “aw… lihat? Kau itu
pengganggu. Sudah cukup jelas, bukan?” kata Fian sambil pura-pura
kesakitan.
“terserahlah!” kataku sambil berbalik meninggalkan Fian.
Baru lima langkah aku pergi, aku pun berhenti dan tertegun melihat
seseorang. Fian menatapku heran. “hai, Airin! Aku masih ada. Jangan
berpikir untuk lari dari masalah kita.” Kata orang itu. Siapa lagi kalau
bukan Andi?
“siapa itu? Pacarmu, ya?” kata Fian membuatku berbalik ke arahnya. Ingin
ku berkata dalam hati, ‘sebentar lagi aku dalam bahaya. Tolong aku,
Fian!’.
“Ada apa denganmu, bodoh? Kau yang merebutnya dariku!” kata Andi kepada
Fian. Fian pun berdiri, lima langkah di belakangku. Tampaknya ia
kebingungan.
Aku baru sadar bahwa aku sedang berdiri di antara dua pria yang pernah
menjadi pacarku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Tapi, aku pun berkata
sesuatu. Ide gila ini muncul begitu saja di otakku. “minggir, Andi!
Jangan mendekatinya! Jangan melukainya lagi!” kataku sambil menghadang
pandangan benci Andi terhadap Fian.
Fian malah semakin bingung saja. Kurasa, Andi mulai tahu apa yang
terjadi sebenarnya. “jadi, kalian sedang ada masalah, ya? Well, kalau
begitu, kencan saja denganku, Airin! Dia kan sudah melupakanmu?” kata
Andi kepadaku.
Aku kaget karena dia masih ingin menjadi pacarku. Tapi, keinginanku tak
sejalan dengan Andi. “walaupun dia melupakanku, aku tak akan mau
menerima pengkhianat sepertimu sebagai kekasihku! Pergilah!” kataku
dengan tegas menolak tawarannya sekaligus mengusirnya.
Kelihatannya, ucapanku ini kurang berkenan di hatinya sehingga membuat
Andi menghampiriku dan tampaknya akan menamparku. Seperti dulu, aku
tutup mata lagi. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Sampai akhirnya,
kurasa seseorang menghampiriku juga dengan pelan. Kutundukkan kepalaku
karena terdengar langkah kaki Andi yang semakin dekat.
PLAK!!! Suara pukulan Andi terdengar jelas. Namun, aku lagi-lagi tak
merasakannya seperti dahulu. Saat kubuka mataku, ternyata ada Fian yang
menangkis tamparan Andi. Andi pun terpental dan jatuh beberapa langkah
ke belakang. Aku kaget dan senang. “kau tidak apa-apa, kan?” kata Fian.
Kelihatannya, Fian masih kambuh amnesianya. Aku hanya tersenyum. Hal ini
takkan lama, bukan?
Sejenak kami terdiam. Aku baru sadar bahwa Andi mulai berdiri lagi
dan bersiap memukul Fian dari belakang. Sayang, Fian tidak melihatnya.
Kecepatan Andi membuatku tak sempat memberitahu Fian. Aku kemudian
dengan cepat berada di belakang Fian dan mendorong Fian jauh-jauh.
PLAK!!! Sebuah pukulan keras mendarat di leherku. Aku pun terjatuh. Fian
pun segera menyadari apa yang terjadi dan langsung memberi hadiah
kepada Andi berupa pukulan keras di perut. Setelah Andi terjatuh dan tak
mampu lagi berdiri, Fian langsung menghampiriku dan meraih punggungku
ke pangkuannya sambil terduduk cemas. Aku benar-benar pusing. Mataku
berkunang-kunang. “kau baik-baik saja? Tidak parah, kan?” kata Fian
penuh khawatir. Kucoba menangkap apa yang dikatakannya. Aku hanya
memanggil namanya. Fian memegang leherku. Tanpa sengaja, dia memegang
kalung yang dulu ia berikan kepadaku. Matanya tampak terbelalak kaget.
Dia memegang kepalanya sambil memejamkan mata erat-erat. Aku mendengar
sepintas bahwa ia berkata, “Airin…”. Lalu, aku tak tahu apa yang
kemudian terjadi. Aku pingsan.
Aku terbangun dan melihat diriku sedang berbaring dalam sebuah kasur.
Bau obat-obatan yang khas tercium di hidungku. Aku tahu, ini di rumah
sakit. Leher dan pundakku terasa ngilu dan sakit. Kulihat sekeliling.
Hanya ada Ani dan seorang laki-laki yang membelakangiku. “semua
salahku…” kata laki-laki itu. Aku tahu suara ini suara siapa. Pasti
Fian! Mereka berdua belum menyadari bahwa aku telah terjaga. “Fian…”
kataku lemah.
Fian segera berbalik dan menggenggam erat tangan kananku. “kau sudah bangun? Kau tidak apa-apa kan, Airin?” katanya khawatir.
Aku tersenyum. “aku tak apa-apa. Janganlah khawatir.” Kataku mencoba
menenangkannya. Lalu, aku benar-benar sadar akan sesuatu. “kau ingat
aku?” kataku kepada Fian. Kuharap, kali ini aku sangat berharap dia
ingat aku. “sepertinya tidak… tidak akan melupakanmu lagi. Maafkan aku
karena telah melupakanmu. Aku janji akan terus mengingatmu selamanya.
Aku janji akan terus berusaha menjadi seorang kekasih yang baik.” kata
Fian sambil tersenyum memegang kedua tanganku dan mengelus rambutku yang
sedikit berantakan dengan pelan. Kami tertawa bersama. Syukurlah, Fian
sudah ingat aku lagi. Perasaanku bagaikan terbang ke langit ketujuh
saking bahagianya.
Seminggu kemudian, aku benar-benar boleh pulang dari rumah sakit.
Semenjak hari itu, aku dan Fian selalu bersama seperti biasanya. Kami
mulai sering lagi pergi bersama ke taman Kenanga atau ke pasar malam
sambil menaiki bianglala. Aku sangat bahagia karena keadaan sudah
kembali normal seperti biasanya. Sementara itu, aku tak pernah lagi
melihat batang hidung Andi. Dia mendadak hilang entah kemana. Tapi, yang
paling penting adalah kebersamaanku dan Fian. Aku bahagia sekali.
Rasanya tak dapat kulukiskan. Kuharap, cinta kami berdua abadi untuk
selamanya.
“Jika kita berusaha dan tetap setia, kita akan mendapatkan cinta yang kita inginkan selama cinta tersebut adalah hak kita.”
THE END..