Lost in France, Lost in You

Lost in France, Lost in You

 

Charles de Gaulle, 29 November 2017.
Delina melengos lelah, jarum jam di tangannya menunjukkan pukul delapan malam. Sadarlah ia jam di tangannya masih menunjukkan waktu Indonesia bagian barat. Kalau ia tidak salah hitung, harusnya sekarang masih pukul 2 siang.
Delina menggendong ranselnya dengan pasrah. Tubuhnya terlalu lelah untuk merengek. Ia sudah terbang sejauh sebelas ribu lima ratus delapan puluh kilometer. Walaupun lelah, senyumnya masih terkembang. Sekarang kakinya telah resmi menginjak lantai bandara Charles de Gaulle. Dan dia tidak bisa lebih bahagia dari ini.
Hall kedatangan bandara seharusnya menjadi tempat paling membahagiakan di semua bandara. Ia menengok ke sekelilingnya, melihat seorang ibu sedang menggendong bayinya yang sedang merengek. Wajah si ibu bule tadi terlihat letih, pertanda habis melakukan perjalanan panjang sepertinya. Namun raut wajahnya berubah tatkala ia mencapai pintu dan melihat sesosok lelaki berdiri menunggunya disana. Membawa setangkai mawar merah yang masih segar, dan sebuah senyuman hangat. Delina berani bertaruh lelah si ibu tadi akan sekejap hilang.
Sementara dirinya? Ia sendiri. Ya, memang awalnya itulah yang ingin dilakukannya dengan pergi ke benua biru ini. Menyendiri. Setelah melewati pemeriksaan pasport oleh petugas keamanan bandara, Delina segera mengantri di depan conveyor belt, menunggu koper ungu kesayangannya tiba. Setelah melihat kopernya, tanpa basa-basi ia langsung menarik koper besarnya. Dan cerobohnya, koper itu mengenai lengan atas seorang bapak.
“I am sorry, sir. I didn’t mean it.”
Namun bapak tadi hanya memandangnya tajam. Tanpa membalas permintaan maaf Delina. Delina tidak peduli. Ia ingin segera tiba di Paris. Ia segera berjalan, tersenyum sekilas ke arah tulisan Bienvenue en France yang menyadarkannya bahwa ia sekarang sudah di Perancis! Delina mengikuti tanda RER B, Paris par train, yang tertulis besar-besar di pintu keluar.
Sampai di depan mesin tiket otomatis yang berwarna hijau, Delina kebingungan setengah mati. Mesin itu hanya mau menerima uang koin, sementara uang yang ia punya hanya berupa lembaran kertas. Ia celingak-celinguk. Lalu dengan nekat menghampiri seorang bule. Nampaknya masih seusianya.
“Excusez-moi, parlez-vous anglais?” Delina mencoba mempraktekkan bahasa Perancisnya yang dianggapnya masih abal-abal. Lelaki tadi menoleh, menyemburkan rasa lega di hati Delina karena ternyata laki-laki tadi mengerti.
“Oui. Can I help you?”
Delina nyengir kuda, “I don’t know what to do. That ticket machine just wants coins. But I don’t have any. Is there any place to change the money I have with Euro coins?”
Laki-laki itu menatapnya datar, dan menunjuk sebuah mesin tak jauh dari tempat mereka berdiri. Sebuah mesin penukar uang.
“Oh, hehehe. I didn’t see that one. Thank you very much!!”
Delina segera memasukkan selembar uang 10 Euro nya ke dalam mesin, dan tak berapa lama muncullah keping-keping koin Euro yang segera dipungutnya. Delina lalu membeli tiket seharga 9,5 Euro itu, kembali ke mesin hijau tadi. Setelah mendapatkan tiketnya ia segera bergegas menuju peron.
Paris, 29 November 2017.
Angin November yang berhembus di kota Paris jauh lebih dingin dibanding yang Delina kira. Ia segera merapatkan syal merah mudanya. Setelah check in di sebuah hotel dekat Gare de Lyon, ia segera keluar. Tak mau menghabiskan sore hanya duduk berdiam di dalam kamar. Senja di The City of Lights terlalu sayang untuk dihabiskan dengan hanya berleyeh-leyeh.
Jarak dari hotelnya ke Eiffel tower hanya 4 kilometer, dan Delina memutuskan untuk berjalan kaki saja. Lagipula siapa yang mau melewati sunset dari puncak menara Eiffel, kan?
Delina ikut mengantri bersama beberapa turis untuk dapat naik elevator menuju puncak menara Eiffel. Sekarang bukan musim liburan, jadi antrian tidak terlalu panjang.
Setelah berhasil naik ke puncak, hatinya merasa aneh. Matahari senja yang berwarna jingga keemasan itu mulai merangkak turun. Ribuan lampu di bawahnya seolah dinyalakan secara bersamaan. Membentuk cahaya-cahaya yang menerangi malam. The City of Lights. Delina tak paham mengapa justru pada saat sekarang hatinya merasa sakit. Harusnya ia sekarang bahagia. Mungkin memang tidak akan ada manusia yang paham tentang urusan hati. Tentang perasaan, dan rasa sakit.
“Udah tiga tahun, Ji…”

Jakarta, 7 Januari 2014.
Tulisan besar-besar di papan tulis kelas itu menghujam kepalanya. Serentet tugas dan ulangan minggu itu memenuhi benaknya. Akhir pekannya akan terasa pekat dan pahit, seperti rasa kopi kesukaan Bapak. Fisik dan batinnya sudah terlalu lelah. Tulisan ‘Kira-kira H-3 bulan UAN, semangat teman-teman :*’ memenuhi papan tulis lainnya, yang mau tidak mau memberikan sedikit semangat bagi penghuni kelas itu.
Delina memandangi teman-teman seperjuangannya. Orang-orang yang akan menjadi orang-orang yang akan sangat dirindukannya ketika ia melangkah keluar, dan melepas seragam putih abu-abu yang selama tiga tahun menjadi identitasnya.
Dan sosok itu tertangkap oleh retina matanya. Duduk di barisan keempat dari depan. Asyik menekuni gitar usangnya. Memetik lagu kesukaannya, dan mungkin kesukaan orangtuanya. Lagu jadul. Delina tidak mengetahui isinya, dia memang bukan pecinta lagu-lagu jadul. Ia hanya pernah mendengarkan lagu itu ketika berada di dalam bus malam jurusan Jakarta-Jogja. Lebih dari itu, ia tidak tahu lagi. Ia tidak terlalu suka bus. Ia lebih memilih kereta. Ia selalu suka warna hijau pada tiang-tiang penyangga stasiun Gambir, dan selalu ingin tahu bagaiman rupa stasiun Gare de Lyon di benua biru sana.
Gadis itu menoleh lagi. Sudah beberapa bulan belakangan laki-laki yang memetik gitar usang itu menyita pikirannya. Lebih dari pada itu, mengacaukan jam tidur malamnya. Delina mendengus sebal, kapan laki-laki mau mengerti? Hah.
Manusia penuh hormon testosteron. Selalu mengedepankan logika. Dan menyingkirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan hati. Mereka yang tidak pernah bisa paham cara kerja otak wanita. Cara kerja hati yang selalu mengedepankan perasaan untuk menyelesaikan masalah. Cara kerja pikiran yang selalu membentuk presepsi-presepsi aneh yang bahkan tidak nyata. Dan berujung kepada kepatah-hati-an.
Mungkin semua wanita menderita erotomania.
Tak terkecuali Delina. Berbulan-bulan otaknya meyakini hatinya bahwa perasaannya hanya bualan. Khayalan alam bawah sadarnya. Namun hatinya menolak mengakui. Perasaanya kembali menang. Selalu menang.
Sampai pada suatu ketika ia dihadapkan pada sebuah kenyataan mengejutkan, dan menyedihkan.
Dan mulai hari itu ia berjanji tidak akan membuat presepsi yang aneh-aneh lagi. Ia berjanji untuk berhenti mengidap erotomania.
Jakarta, 24 Mei 2014. 07.00 WIB.
Hari ini pengumuman hasil UAN. Seluruh pelajar SMA sederajat kelas 3 se-Indonesia pasti gelisah. Hari itu Delina dan seluruh teman seangkatannya berdiri di lapangan basket. Harap-harap cemas, menunggu orangtua mereka yang telah berada di kelas-kelas.
07.15.
Speaker sekolah berbunyi gemerisik yang langsung menimbulkan efek. Kerumunan putih abu-abu yang ribut sekali tadi itu mendadak diam.
“SELAMAT UNTUK SELU…” pengumuman itu belum selesai, namun kerumunan tadi mendadak histeris. Banyak yang menangis, berpelukan satu sama lain, dan bersujud mengucap syukur.
Cat-cat semprot dikeluarkan dan dalam hitungan menit, seragam putih mereka berubah menjadi warna-warni. Spidol-spidol permanen diedarkan. Bergantian mereka menandatangani baju temannya. Sambil tertawa dan berpesan untuk jangan saling melupakan.
Delina sedang membereskan barangnya dan mengenakan cardigannya saat ia mendengar langkah kaki mendekat. Koji, panggilan sayang teman seangkatan untuknya itu telah menjadi nama keduanya. Laki-laki yang bermain gitar usang. Laki-laki yang bernyanyi lagu-lagu jadul.
“Ada apa, Ji? Baju lo udah gue tanda tangani kan?”
Koji terlihat salah tingkah, ia mencoba terkekeh namun Delina tetap terdiam. Suasana kali itu terasa janggal. Delina sudah berjanji tidak akan terkena erotomania lagi. Jadi ia menganggap obrolan ini bukanlah apa-apa.
Koji mengangsurkan sebuah kertas yang diyakini Delina merupakan sebuah amplop. “Ini, Lin. Gue cuma mau ngasih ini. Maaf gue pengecut. Selamat udah lulus. Jangan lupa sama gue ya ntar.” Koji tersenyum hambar.
“Makasih, Ji. Lo kali yang bakal lupa sama gue.”
Dan Koji berlalu pergi tanpa pernah berkata apa-apa lagi. Delina menatap amplop biru di genggamannya yang perlahan mulai basah akibat tetes-tetes bening dari pelupuk matanya.
Dear Delina…

Tepi Sungai Seine, Paris, 29 November 2017.
Delina memandangi aliran air di hadapannya yang gelap, kehilangan cahaya yang kalah beradu dengan pekatnya malam. Aliran air yang hanya beberapa kali terlihat kilaunya saat sebuah kapal dengan dek terbuka yang mengangkut turis lewat. Lampunya dengan kejam membelah kelamnya sungai Seine malam hari. Klaksonnya terdengar angkuh, kontras dengan tenangnya aliran sungai Seine pada malam hari.
Matanya menyipit, menatap tajam sebuah kapal ber-dek terbuka yang sedang melintas. Terdengar kerumunan turis-turis yang berseru-seru gembira. Berbagai bahasa berbeda yang tidak dimengertinya tertangkap oleh telinganya.
Delina tertawa dalam hati. Melakukan sight-seeing sungai Seine pada malam hari di bulan November? Konyol. Namun sebuah kenyataan menampar perasaannya. Setidaknya para turis yang berseru kedinginan itu bahagia.
Angin November yang membawa gigil itu kembali berhembus. Membuat Delina bergidik, bulu kuduknya meremang. Sudah semakin malam. Delina berusaha menghangatkan dirinya sendiri. Memeluk erat kedua humerus nya, atau beberapa kali memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam kantung mantelnya yang hangat. Gerakan tangannya berhenti saat ujung jari manis kirinya menyentuh sebuah benda tipis bertekstur. Segera Delina mengeluarkannya.
Surat dari Koji…
Delina memandangi amplop biru itu selama beberapa saat. Membiarkan dirinya ikut terbawa arus nostalgia yang sedang dilakukan otaknya. Delina menutup matanya, merasakan angin November itu kembali berhembus, masuk melalui sela-sela benang wol syalnya. Namun sensasi itu diabaikannya. Kenangan masa lalu lebih menyenangkan untuk dirasakan.
Setelah detik ke empat belas, Delina membuka matanya. Dan tersenyum sedih.
“Lo bohong, Ji. Sekarang sembilan belas november, sekarang tepi sungai Seine, sekarang jam tujuh malam. Tapi nggak ada apa-apa.”
Setelah jarum pendek pada arlojinya menunjuk ke angka 8, Delina bergegas pergi meninggalkan ketentraman sungai Seine. Mampir di sebuah cafe teras untuk membeli satu cup kopi panas, dan croissant keju, temannya untuk perjalanan pulang.
Delina memutuskan untuk mampir ke Eiffel tower lagi, ingin merasakan malam di taman yang mengelilingi Eiffel sambil minum kopi dan makan croissant. Eiffel di malam hari jauh lebih menakjubkan dibanding ketika siang hari. Lampu-lampu yang menempel pada badannya sudah dinyalakan. Dan hal itu menarik minat wisatawan lebih banyak lagi. Seolah Eiffel tower tidak pernah sepi.
Meluruskan lutut setelah berjalan seharian memang menyenangkan. Delina berbaring di atas rumput dan menutup matanya, merasakan semilir angin yang dengan bahagia membelai wajahnya. Ia akan mencoba bahagia, seperti turis-turis di sungai Seine tadi.
Tiba-tiba ia merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Delina bergegas bangkit. Dadanya berdebar. Ia takut. Katanya high-skilled professional pickpockets are here. Delina bersiap berteriak saat kemudian matanya menatap kedua bola mata kelabu itu lagi. Kedua bola mata yang terakhir dilihatnya pada 24 Mei 2014.
“Koji…” Delina menatapnya tak percaya.
“Halo, Lin. Long time no see.” Ia nyengir, menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi.
“Kata kamu sungai Seine. Kenapa Eiffel?”
“Tadi aku udah ke Seine. Lihat kamu. Tapi ternyata Eiffel malam hari jauh lebih romantis dibanding Seine yang gelap. Maaf ya…”
Delina mencoba menahan matanya yang mulai memanas. Perasaannya tak menentu. Sebal, marah, kecewa, sedih, bahagia, haru, tidak percaya, dan rindu berkumpul menjadi satu disana. Membentuk buliran-buliran bening yang meluncur turun tepat pada detik ke empat belas.
Ia tidak bisa lebih bahagia daripada ini.

Surat dari Koji.
Dear Delina…
Percaya atau nggak, kamu nggak kena erotomania. Nggak. Nggak pernah.
Aku nggak tau.
Harusnya aku tau.
But everything’s too late, I guess.
Aku terlalu takut. Takut untuk jatuh dan mematahkan semua tulangku. Terutama costae-ku. Aku takut ia patah duluan sebelum ketemu pasangannya. Hehe.
Lin, maaf.
Maaf karena kamu mengutuki dirimu sendiri menderita erotomania, padahal nggak. Perasaanmu berbalas. Oh bukan, harusnya aku yang bilang kalo aku senang perasaanku yang berbalas.
Aku terlalu takut untuk dekat dan bilang, because you were too perfect for me. Oh, you’re still perfect.
Maaf karena aku buat kamu sedih.
Sorry, I dated another girl.
Maaf karena aku pecundang, ya.
Untuk menebus semuanya, can I ask you a favor?
Kalo kamu masih marah, sih, nggak papa.
Meet me at Seine river, Paris. November 29 2017. 07.00 p.m.
They said Seine at night is incredibly romantic! Hehe.
Gimanapun caranya, selama tiga tahun ke depan aku bakalan nabung. Kamu juga nggak? Aku harap iya, ya. I remember you wanted to see Gare de Lyon, I always remember. Hehe.
Nanti kita bisa sight-seeing Seine di malam hari bulan November bareng, jalan di Champs-Élysées menelusuri axe historique, atau beli macarons di Ladurée ya!
Sampe ketemu tiga tahun enam bulan kurang lima hari lagi!
Sorry for everything, Lin. I’m gonna miss you..

THE END..

Jangan Pernah Lupakan Aku Lagi

 Jangan Pernah Lupakan Aku Lagi

 Pagi ini, burung-burung tampak berkicau menyapaku. Sinar matahari yang hangat menyelimuti pagi yang indah ini. Aku mulai membuka mata dari tidur lelapku. Kulihat jam dinding biruku menunjukkan pukul 6 pagi. Aku pun turun dari tempat tidur hello kitty pemberian ayahku. Ini adalah pagi di hari Minggu yang sempurna.
Smartphone-ku mulai berdering, menunjukkan bahwa ada yang menelponku yang masih berpiyama. Kuangkat telepon itu. “halo, Fian… aku masih ngantuk, nih…” kataku manja.
“kamu sudah tidur berapa jam? Ini sudah pagi. Sebaiknya kau segera mandi. Aku tunggu kau di taman Kenanga pukul 8. Bye-bye, Airin!” kata seseorang di seberang telepon yang tak lain adalah Fian, pacarku.
“aku akan datang. Bye-bye, Fian…” kataku. Sungguh, kata-katanya begitu singkat dan berarti. Aku sangat mencintainya. Begitu juga Fian. Aku selalu berusaha agar tak terjadi masalah antara kami berdua. Hidupku itu harus, terus, dan memang simple. Kadang, kami saling membuat ulah. Tapi, kata maaf yang tulus pun menyelesaikan semuanya.
Aku tak mau berlarut-larut dalam kicauan burung yang hinggap di kabel listrik di luar jendelaku. Aku pun segera mandi dan merapikan penampilanku. Rambut, atasan, rok, gelang, kalung, tas, kaus kaki, flat shoes, sampai ke isi dompet aku persiapkan sebaik-baiknya agar tak terlihat mengecewakan di hadapan Fian. Aku juga tak lupa untuk mengenakan kalung pemberian Fian. Aku tentu senang. Ini adalah kencan ke-empatku dengan Fian. Laki-laki yang tampan dan pengertian itu telah mencuri hatiku, bak Cinderella yang menemukan pangerannya.
Sebelumnya, dia adalah temanku yang terbaik. Waktu itu, aku masih memiliki seorang pacar, namanya Andi. Aku pun putus dengan Andi karena dia punya simpanan. Seiring waktu berlalu, aku dan Fian mulai saling menyukai, dan pada akhirnya kami saling mencintai. Begitulah, setidaknya aku punya kekasih yang selalu mengerti aku. Aku tersenyum sendiri setelah mengingat masa laluku yang penuh suka duka. Walaupun masih ada waktu 30 menit sebelum pukul 8 pagi, aku segera mengenakan sepatuku dan pergi jalan kaki ke taman Kenanga, taman bunga paling cantik di kota.
Baru setengah perjalanan, matahari pun menipuku. Cuaca yang begitu cerah tiba-tiba berubah menjadi redup dan turunlah hujan yang cukup membuatku basah. Aku segera berteduh ke dalam sebuah toko kue. “hmm… aku tak bawa payung.” Keluhku. Aku pun berdiri mematung memandang tetesan hujan dari balik jendela toko tersebut.
“Airin… kau kembali lagi… apa si bodoh Fian itu akan kencan denganmu hari ini? Apa kau lupa padaku?” kata seorang pegawai toko kue tersebut. Suaranya sangat familiar di telingaku.
Saat aku berbalik, aku benar-benar terkejut. “An.. Andi? Kau kah itu?” kataku tak percaya. Di saat orang lain bersekolah, dia malah menjadi pegawai toko kue.
“kau khianati aku. Kau pasti mengingatku.” Katanya membuatku yakin bahwa yang berdiri disana itu mantan pacarku.
“aku tak mengkhianatimu. Kaulah yang mengkhianati aku!” Kataku sadar dari keterkejutanku.
“begitukah? Kau sudah menyukai Fian dan mulai tak memperdulikanku. Apa itu jelas? Kau harus membayarnya.” Kata Andi penuh rasa dendam.
Aku mulai takut. “membayarnya? Apa maksudmu?” kataku bingung dan takut. Aku mulai mundur perlahan.
“kau pikir rasa sakit hatiku itu masalah kecil? Tiap kali melihatmu dengan Fian, hatiku sakit. Aku takkan membiarkan kau bahagia. Akan kupastikan itu.” Katanya serius. Tangannya mengepal penuh benci. Dia bisa saja melukaiku. Tapi, yang paling kutakutkan adalah apa yang terjadi jika Fian terluka karenanya.
Aku mulai mundur, berbalik, dan lari. Tentu saja, Andi mengejarku di tengah hujan yang masih mengguyur kota ini.
Aku tak tahu harus lari kemana. Kecepatan lari Andi membuatku tak bisa berpikir. Aku terus berlari. Hingga akhirnya, aku terperangkap di sebuah gang sepi. Apalagi, gang tersebut buntu. Hanya ada sebuah kolam di ujungnya. Aku berjalan mundur sambil melihat Andi sudah siap memukulku dengan sebuah tongkat kayu. “bersiap-siaplah untuk pergi, Airin… ha ha ha…” kata Andi sambil mempererat pegangannya kepada pemukul kayunya. Dia pun mulai mengayunkan batang kayu di tangannya. “jangan!” teriakku sambil mentup mataku. PLAK!!! Aku merasa tidak kesakitan ataupun kehilangan nyawaku yang hanya satu.
Kubuka mataku. Aku senang sekaligus terkejut. “Fian! Kau datang!” seruku saat melihat Fian memukul bahu Andi sehingga Andi terjatuh. “kau tidak apa-apa?” kata Fian kepadaku. Dia nampak sangat pAnik.
“aku tidak apa-apa. Terima kasih telah datang…” kataku salut dengan kedatangannya.
“semuanya takkan berhenti sampai disini!” teriak Andi mulai berdiri.
“berhentilah! Atau aku akan melukaimu.” Kata Fian dengan berani.
Aku khawatir dengan Fian. Kemarin, kakinya keseleo. Apa dia bisa bertahan?
“lakukanlah jika kau bisa!” kata Andi sambil memulai serangannya. Kupengang erat kalung pemberian Fian. Selain itu, aku hanya bisa memegang erat kalung pemberian Fian yang kukenakan dan berharap. Kau bisa, Fian. Kau bisa.
Fian dan Andi berkelahi cukup sengit. Pukul sini, pukul sana, tendang sini, tendang sana. Begitu terus berulang. Aku mulai menangis. Aku benar-benar takut dan cemas. Dan akhirnya, Fian bisa menjatuhkan Andi ke sebuah kolam ikan di ujung gang tersebut. Cukup dalam, memang. Tapi, Fian kehilangan keseimbangan serta mendadak pusing dan terjatuh pingsan. Kepalanya berdarah mengenai sebuah batu hitam besar.
Aku pun menelepon Ani, adiknya Fian sekaligus sahabat baikku, untuk datang dan mencari bantuan. Berselang lima menit, Ani pun datang dengan mobilnya yang mewah. Fian pun dibawa ke rumah sakit. Aku juga ikut. Sebelum menaiki mobil, aku berbalik dan menatap Andi tengah berusaha naik dari kolam itu.
“Fian… kau sudah sadar?” kataku saat Fian membuka mata. Cuaca hujan beserta ac yang dingin membuatku serasa membeku. “dimana aku?” kata Fian masih pusing.
“ini di rumah sakit. Kakak tidak apa-apa?” kata Ani kepada kakaknya. Sepertinya, Ani juga sangat cemas.
“kau baik-baik saja, kan?” kataku memegang tangannya.
“siapa kau? Siapa kalian? Kenapa aku ada disini? Dan… siapa aku?” ucap Fian membuat semua orang di ruangan itu, yang sebenarnya hanya aku dan Ani, tidak percaya dan kaget.
“kau bercanda, kan? Kau tak sungguh-sungguh melupakan kami, kan? Aku adikmu! Coba ingat, kak…” kata Ani mulai menangis. Dari wajahnya, Fian terlihat benar-benar serius dan benar-benar lupa.
aku juga mulai kebingungan. “kau ingat aku? Aku pacarmu. Kau ingat? Atau, kau lupa?” kataku berharap dia akan ingat.
“kau adikku? Kau pacarku? Aku sungguh lupa… apa yang terjadi, aku tidak ingat sama sekali.” Kata Fian ikut-ikutan bingung.
Aku mulai melepas genggaman tanganku kepadanya. “Ani… ayo keluar dulu. Fian pasti butuh waktu untuk mengingatnya kembali. Semoga saja… Fian ingat lagi,” kataku sambil menarik Ani keluar kamar.
“namaku Fian, ya?” kata Fian pelan. Aku tak percaya. Dia pasti amnesia. Hari yang sempurna ini jadi kacau balau.
“dia terkena amnesia. Kami perlu meneliti lebih lanjut tentang amnesia jenis apa yang dideritanya.” Kata seorang dokter yang merawat Fian. Kenapa ini terjadi? Ani masih bengong terkejut. Aku mengajak Ani pergi dari ruang dokter.
Dari luar jendela kamar Fian, aku melihat pacarku itu sedang duduk termenung. Dia sepertinya sedang mencoba mengingat-ngingat asal-usulnya. Beberapa saat kemudian, dia tampak pusing dan memegang kepalanya. Tentu saja, dia pasti masih lupa. orangtua Fian pergi ke luar negeri untuk beberapa minggu kedepan. Ani tidak memberitahu orangtuanya tentang kejadian ini. Aku menangis sekali lagi. Pakaianku masih basah karena hujan tadi. Fian terkena amnesia karena benturan di kepalanya. Dia terbentur karena berkelahi dengan Andi. Dia berkelahi dengan Andi karena berusaha menyelamatkanku. Semua berawal dari diriku. Aku merasa sangat bersalah. Fian terluka karena aku. Aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri. Aku membalikkan badan. Aku kemudian melangkah pulang setelah pamit kepada Ani. Aku melirik Fian sekilas. Rasa bersalah ini terus menghantuiku.
Aku pulang dengan langkah yang berat. Aku kesal kepada diriku sendiri. Kuhempaskan badan yang masih sedikit basah ini ke tempat tidur. “setidaknya, Fian masih selamat…” kataku dalam hati.
Aku pun kemudian mandi. Kulihat jam dinding di kamarku. Ternyata sudah pukul 8 malam. Tidak ada seorang pun di rumah. Aku adalah anak tunggal. Sementara ayah dan ibuku sering pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Suasana yang membosankan dan hening pun terjadi di rumahku. Jika hal buruk ini tak terjadi, pasti aku masih berada di pasar malam dengan Fian sambil menaiki bianglala. Kepalaku jadi pusing. Kupejamkan mataku dan kucoba untuk tidur sambil menggenggam kalung pemberian Fian. Tidur dalam suasana yang buruk. Semoga aku bermimpi indah…
Keesokan harinya, aku pun bangun dari tidurku yang tak senyenyak kemarin. Kusimpan kalung pemberian Fian yang kupegang erat. Sayang, aku tak bermimpi indah. Yang kuimpikan malah kejadian kemarin. Kucoba melenyapkan pikiranku tentang apa yang terjadi. Sungguh, itu membuat hatiku sakit sekali. Perasaanku campur aduk antara sedih dan marah.
Kugenggam smartphone-ku dan kutelepon seseorang. “halo? Kau sudah bangun?” kataku mencoba tersenyum meski sulit.
“siapa ini? Airin?” kata seseorang dari seberang telepon.
“kau tahu namaku dari mana? Dari nama di teleponmu, kan?” kataku sambil berjalan ke ruang tamu rumahku.
“ya. Kenapa kau meneleponku? Kau tahu aku sedang di rumah sakit, kan?” kata orang itu, yang tak lain adalah Fian.
“coba ingatlah aku. Aku adalah pacarmu, Fian. Percayalah…” kataku memohon.
“benarkah itu? Apakah perempuan sepertimu adalah pacarku? Apa cantiknya kamu? Kau hanya membuatku semakin pusing!” kata Fian dengan nada mengejek.
Aku terkejut. “apakah pria yang kutelepon mencintaiku? Sebelumnya iya. Tapi, aku tak tahu lagi sekarang. Maafkan aku telah mengganggumu…” kataku menutup telepon seketika.
“tak ada gunanya. Kami telah berakhir, kan?” kataku sambil melihat sebuah pot bunga berisi bunga mawar pemberian Fian di meja ruang tamu. Bunga itu cantik sekali. Melihatnya saja, aku seperti merasakan Fian di sisiku. Aku tak tahu. Apakah aku harus bersabar? Apakah aku harus setia? Apakah aku harus terus bersedih karenanya? Apakah aku harus terus mencintainya? Deretan pertanyaan menghujaniku. Aku tak tahu jawabannya. Dia sudah melupakanku. Tapi cintaku masih ada untuknya
Dua minggu pun berlalu. Aku belum juga melihat Fian. Dulu, jika Fian tak mendengar suaraku sehari saja, Fian pasti langsung menemuiku dimanapun aku berada. Aku selalu menelepon Fian sejak kejadian naas itu. Jawabannya selalu sama. Dia memang benar-benar lupa dan tak percaya bahwa aku pacarnya. Dia menganggapku bukan siapa-siapa lagi baginya. Aku pun pergi ke dapur pagi itu. Ada ibu dan ayahku sedang bersiap untuk pergi ke luar kota lagi. Aku tak mau pusing dan langsung memakan sandwich buatan ibuku. Aku hanya bisa kembali ke kamar lagi. Kupikirkan sesuatu untuk menghilangkan rasa jenuh dan sedih yang kurasa. Akhirnya, kuputuskan untuk pergi ke taman Kenanga menaiki sepedaku. Hembusan angin yang lembut pasti akan membuatku merasa lebih baik.
Taman Kenanga adalah tempat favoritku dan Fian. Kami selalu menghabiskan waktu disini dengan bunga-bunga yang cantik dan aliran air sungai kecil yang jernih. Burung-burung pun selalu menyambut siapapun yang datang dengan kicauan mereka disini. Aku pun menitipkan sepedaku kepada petugas keamanan disana. Lalu aku duduk di sebuah bangku taman yang terukir rapi dan indah. Aku bahkan tak sadar bahwa ada orang di sebelahku. Laki-laki yang memakai kacamata hitam itu melihatku heran karena aku langsung duduk saja tanpa melihat dia sedang duduk. Aku akhirnya sadar setelah mencerna maksud dari tatapan heran laki-laki itu. “oh… maaf, ya! Aku tak sengaja. Kicauan burung ini membuatku langsung duduk begitu saja tanpa memperhatikanmu. Maaf…” kataku bangkit berdiri. Laki-laki itu pun mengalihkan pandangannya dan membuka kacamata hitamnya. Aku sangat kaget.
“Fian! Kau kah itu?” kataku tak percaya.
“kau kah yang selalu menggangguku dengan sejuta telepon dan curhatmu?” kata Fian balas bertanya.
Wajahku yang senang berubah menjadi tersinggung. “mengganggu?!?” kataku setengah teriak.
“ya. Kau bahkan tampak seperti lalat pengganggu yang selalu hinggap di makanan orang.” Kata Fian sambil menoleh ke arah rotinya yang dihinggapi lalat.
Dibilang seperti itu oleh Fian tidak lagi membuatku sedih. Aku justru kesal sekali. “kau ini seenaknya saja! Dasar sombong! Memangnya aku ini apa?” kataku sambil menginjak kakinya sedikit. “aw… lihat? Kau itu pengganggu. Sudah cukup jelas, bukan?” kata Fian sambil pura-pura kesakitan.
“terserahlah!” kataku sambil berbalik meninggalkan Fian.
Baru lima langkah aku pergi, aku pun berhenti dan tertegun melihat seseorang. Fian menatapku heran. “hai, Airin! Aku masih ada. Jangan berpikir untuk lari dari masalah kita.” Kata orang itu. Siapa lagi kalau bukan Andi?
“siapa itu? Pacarmu, ya?” kata Fian membuatku berbalik ke arahnya. Ingin ku berkata dalam hati, ‘sebentar lagi aku dalam bahaya. Tolong aku, Fian!’.
“Ada apa denganmu, bodoh? Kau yang merebutnya dariku!” kata Andi kepada Fian. Fian pun berdiri, lima langkah di belakangku. Tampaknya ia kebingungan.
Aku baru sadar bahwa aku sedang berdiri di antara dua pria yang pernah menjadi pacarku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Tapi, aku pun berkata sesuatu. Ide gila ini muncul begitu saja di otakku. “minggir, Andi! Jangan mendekatinya! Jangan melukainya lagi!” kataku sambil menghadang pandangan benci Andi terhadap Fian.
Fian malah semakin bingung saja. Kurasa, Andi mulai tahu apa yang terjadi sebenarnya. “jadi, kalian sedang ada masalah, ya? Well, kalau begitu, kencan saja denganku, Airin! Dia kan sudah melupakanmu?” kata Andi kepadaku.
Aku kaget karena dia masih ingin menjadi pacarku. Tapi, keinginanku tak sejalan dengan Andi. “walaupun dia melupakanku, aku tak akan mau menerima pengkhianat sepertimu sebagai kekasihku! Pergilah!” kataku dengan tegas menolak tawarannya sekaligus mengusirnya.
Kelihatannya, ucapanku ini kurang berkenan di hatinya sehingga membuat Andi menghampiriku dan tampaknya akan menamparku. Seperti dulu, aku tutup mata lagi. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Sampai akhirnya, kurasa seseorang menghampiriku juga dengan pelan. Kutundukkan kepalaku karena terdengar langkah kaki Andi yang semakin dekat.
PLAK!!! Suara pukulan Andi terdengar jelas. Namun, aku lagi-lagi tak merasakannya seperti dahulu. Saat kubuka mataku, ternyata ada Fian yang menangkis tamparan Andi. Andi pun terpental dan jatuh beberapa langkah ke belakang. Aku kaget dan senang. “kau tidak apa-apa, kan?” kata Fian. Kelihatannya, Fian masih kambuh amnesianya. Aku hanya tersenyum. Hal ini takkan lama, bukan?
Sejenak kami terdiam. Aku baru sadar bahwa Andi mulai berdiri lagi dan bersiap memukul Fian dari belakang. Sayang, Fian tidak melihatnya. Kecepatan Andi membuatku tak sempat memberitahu Fian. Aku kemudian dengan cepat berada di belakang Fian dan mendorong Fian jauh-jauh. PLAK!!! Sebuah pukulan keras mendarat di leherku. Aku pun terjatuh. Fian pun segera menyadari apa yang terjadi dan langsung memberi hadiah kepada Andi berupa pukulan keras di perut. Setelah Andi terjatuh dan tak mampu lagi berdiri, Fian langsung menghampiriku dan meraih punggungku ke pangkuannya sambil terduduk cemas. Aku benar-benar pusing. Mataku berkunang-kunang. “kau baik-baik saja? Tidak parah, kan?” kata Fian penuh khawatir. Kucoba menangkap apa yang dikatakannya. Aku hanya memanggil namanya. Fian memegang leherku. Tanpa sengaja, dia memegang kalung yang dulu ia berikan kepadaku. Matanya tampak terbelalak kaget. Dia memegang kepalanya sambil memejamkan mata erat-erat. Aku mendengar sepintas bahwa ia berkata, “Airin…”. Lalu, aku tak tahu apa yang kemudian terjadi. Aku pingsan.
Aku terbangun dan melihat diriku sedang berbaring dalam sebuah kasur. Bau obat-obatan yang khas tercium di hidungku. Aku tahu, ini di rumah sakit. Leher dan pundakku terasa ngilu dan sakit. Kulihat sekeliling. Hanya ada Ani dan seorang laki-laki yang membelakangiku. “semua salahku…” kata laki-laki itu. Aku tahu suara ini suara siapa. Pasti Fian! Mereka berdua belum menyadari bahwa aku telah terjaga. “Fian…” kataku lemah.
Fian segera berbalik dan menggenggam erat tangan kananku. “kau sudah bangun? Kau tidak apa-apa kan, Airin?” katanya khawatir.
Aku tersenyum. “aku tak apa-apa. Janganlah khawatir.” Kataku mencoba menenangkannya. Lalu, aku benar-benar sadar akan sesuatu. “kau ingat aku?” kataku kepada Fian. Kuharap, kali ini aku sangat berharap dia ingat aku. “sepertinya tidak… tidak akan melupakanmu lagi. Maafkan aku karena telah melupakanmu. Aku janji akan terus mengingatmu selamanya. Aku janji akan terus berusaha menjadi seorang kekasih yang baik.” kata Fian sambil tersenyum memegang kedua tanganku dan mengelus rambutku yang sedikit berantakan dengan pelan. Kami tertawa bersama. Syukurlah, Fian sudah ingat aku lagi. Perasaanku bagaikan terbang ke langit ketujuh saking bahagianya.
Seminggu kemudian, aku benar-benar boleh pulang dari rumah sakit. Semenjak hari itu, aku dan Fian selalu bersama seperti biasanya. Kami mulai sering lagi pergi bersama ke taman Kenanga atau ke pasar malam sambil menaiki bianglala. Aku sangat bahagia karena keadaan sudah kembali normal seperti biasanya. Sementara itu, aku tak pernah lagi melihat batang hidung Andi. Dia mendadak hilang entah kemana. Tapi, yang paling penting adalah kebersamaanku dan Fian. Aku bahagia sekali. Rasanya tak dapat kulukiskan. Kuharap, cinta kami berdua abadi untuk selamanya.
“Jika kita berusaha dan tetap setia, kita akan mendapatkan cinta yang kita inginkan selama cinta tersebut adalah hak kita.”

THE END..

You’re Sky, I’m Earth

You're Sky, I'm Earth

 Kau langit yang tak mungkin tersentuh oleh gapaian tanganku
Di sini, bumi, tempatku berpijak
Hanya berandai-andai setiap menatapmu
Kau yang jauh di sana
Akankah bisa bersatu?
Nya, lihatlah ke blkg…
Mendapati Short Message Service yang baru dibukanya, Anya membalikkan badannya, mencari sosok yang mengirimi pesan tersebut kepadanya. Sebuah blitz seketika menimpa wajahnya, silau. Terlihat senyum simpul yang mengembang dalam wajah di balik kamera digital yang baru saja membidik. Dasar Benny. Anya menimpalinya dengan senyuman manis.
“Ayo, bergayalah.” Benny Mengangkat kameranya siap memotret kembali.
Malu-malu, Anya dalam balutan seragam abu-abu putihnya mengangkat telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.
“Ben, aku juga mau donk.”
Seorang gadis lain datang langsung berpose di depan Benny, membelakangi bangku Anya.
“Tapi bukan di sini. Di luar, lebih bagus pencahayaannya.”
Benny mengangkat bahunya. “Baiklah. Fani”. Dia bangkit dari bangkunya menyusul Fani yang berjalan dahulu. Tangannya melambai saat melewati bangku Anya. Keduanya menghilang di balik pintu.
Terdengar suara pintu yang tergeser, diikuti derap langkah kaki-kaki memasuki toilet. Riuh suara gadis-gadis itu.
“Sudah kubilang kan, produk itu tidak cocok denganmu. Lihat, wajahmu sekarang.” Seru gadis dengan suara manja.
“Ah, mana kutahu. Tante Mega yang memberiku cuma-cuma, siapa yang tak mau. Lagian kau tahu sendiri kan bagaimana aku ingin terlihat putih dan bersih.” Timpal gadis lain bersuara cempreng.
“Lain kali, turuti ucapanku. Begitukan hasilnya?”
Sesaat sunyi senyap. Menyisakan suara gemericik air.
“Hmm… aku sangat iri dengannya.” Gadis cempreng itu berkata.
“Siapa?”
“Kau tahu sendiri, gadis tercantik di SMA ini, kalau bukan Fani.”
“Kau benar, ia betul-betul cewek idaman. Cantik, kaya, pintar, ketua pemandu sorak dan seorang model pula. Ahh, mengapa semua kesempurnaan Tuhan berikan kepadanya.”
“Tapi, Tuhan adil.” Kali, gadis lain nimbrung bicara. Suaranya tenang berbeda dengan kedua lainnya. “Soal cinta, ternyata Fani masih belum berhasil mendapatkan hati Benny.”
Seseorang menggerutu, suaranya cempreng.
“Bagaimana berhasil, jika gadis jelek itu selalu di samping Benny. Apa sih spesialnya dia? Sampai-sampai si tampan itu juga mendekatinya. Aku rela, dia bersanding dengan Fani. Tapi dengan Anya, aku sangat tidak terima.”
“Aku sendiri juga tidak mengerti. Apa sih yang dilihat darinya. Pendek, berkacamata, dan kucir kudanya yang selalu bikin aku tidak nyaman tiap melihatnya.” Ujar gadis centil.
Tiba-tiba bel berdering. Percakapan mereka terhenti. Pelajaran selanjutnya akan dimulai.
Pintu toilet kembali tergeser, gadis-gadis itu keluar dengan suara riuhnya kembali. Tertutup kembali. Sepi. Meninggalkan suara tetes air yang mengalir dari kran wastafel yang tidak sepenuhnya tertutup rapat. Dari ujung kamar toilet, terdengar suara air yang terbilas. Pintunya terbuka. Seorang gadis keluar. Kacamata yang selalu bertengger di atas hidungnya, dilepasnya. Matanya menatap bayangannya sendiri dalam cermin panjang yang mengisi sepanjang dinding.
“Kurasa benar” dia mendesah.
Tiba-tiba terdengar lagu Mata Aimashou- Seamo. Anya segera mengambil ponsel genggamnya, ada SMS masuk. Segera dibukanya.
Pastikan kau datang ya. Sebentar lagi akan datang kiriman. Ku harap kau memakainya nanti. Aku akan senang melihatmu di sana. Sampai ketemu. Let’s party.
Anya melepaskan tatapannya dari layar laptop di hadapannya. Matanya menerawang ke jendela. Korden putih yang menghiasi jendela itu bergerak-gerak terhembus angin, membuka cakrawala di luar. Langit terlihat cerah, biru menenangkan. Menyeduhkan mata yang memandang. Namun bagi Anya. langit siang itu mendung. Saat ini dunianya berkubang dalam kegalauan.
Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana, Ben? Kalau kau terus begini, kau membuatku tidak nyaman…
Seharian HP-nya sudah puluhan penuh SMS dan miss-called Benny. Menyerah akhirnya Anya memutuskan untuk datang. Kurasa semuanya akan baik-baik saja. Aku cuma cukup datang dan setelah itu pergi.
“Anya.” Suara itu memanggilnya.
Anya menoleh, melihat seseorang dalam balutan jas putih berjalan menerobos kerumunan ke arahnya. Kafe besar itu ramai, bukan karena para pengunjung yang ingin menikmati secangkir kopi atau steak daging domba, namun oleh para remaja yang mengobrol riuh dalam pesta ulang tahun. Suara musik mengalun dalam keindahan sang malam.
Anya menahan napasnya sejenak. Lalu perlahan-lahan ia mengembuskannya ketika Benny datang menghampiri.
“Aku tahu, kau pasti datang.” Senyum Benny lebar.
“Kau benar-benar cantik sekali malam ini, Anya.”
Tiba-tiba seseorang berseru memanggil Benny. Mereka menoleh. Di seberang ruangan, seseorang melambai. Benny membalas dengan lambaiannya tangannya pula. Lalu beralih menatap Anya.
“Kau tak apa, kutinggal sebentar.”
Anya menggangguk. “Baiklah.”
Setelah melihat sosok Benny menghilang di antara kerumunan orang-orang, Anya berjalan ke arah meja yang berisi banyak kudapan.
“Hei, Anya,” sapa Nita dengan suara cemprengnya saat Anya berdiri mengambil salah satu kue dengan pinggiran krim untuk dimakannya.
Anya menoleh. Geng tiga cewek yang menyebut diri mereka, wondergelis, muncul di hadapannya.
“Woo, lihat si bebek buruk rupa malam ini seperti angsa putih.”
Terdengar suara “wuuu” mengekor dari dua cewek lainnya. Ketiganya seakan senang. namun Anya tak menghiraukan. Ia memilih mengisi piringnya dengan kue-kue. Daripada menanggapi ocehannya, lebih baik mengisi perut yang kelaparan sedari sore.
“Namun sayangnya sang pangeran tidak tertarik padanya. Dia lebih memilih bicara dengan putri yang sejati.”
Kali ini, Anya menghiraukan. Mata Anya dilayangkan ke seberang ruangan. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Sesak.
“Serasi sekali mereka. Si tampan Benny dan si cantik Fina” Sanjung Feli, dengan suara yang terkesan manjanya.
“Kau tahu, langit sangat jauh dengan bumi. Biarkan ia bersanding dekat dengan sang bintang yang berkilau. Itu akan terlihat sangat cantik. Jadi, kuharap menyingkirlah kau”.
Nita menyunggingkan senyum sini, “Sangat mudah seperti angin… fiuuuhhh.” Tangannya mengibas kasar mengarah ke piring Anya.
“Ups, aku tidak sengaja.” Nita mengalihkan pandangannya ke arah lain, seakan tak berdosa. Gaun Anya kini pun penuh noda krim.
“Itu memang pantas bagimu.” Sambung Nita.
Suara tawa ketiganya membahana.
“Kau sungguh memalukan, Nita.”
Benny berseru, dia berjalan cepat menghampiri mereka.
“Kukira ku sudah berubah, tapi tidak. Aku tahu kau yang menyebar gossip itu. Aku tak suka kau mengejek Anya.”
“Tapi, Ben. Aku tak suka dia selalu berada di sisimu.”
“Itu menurutmu, tapi aku mencintainya.”
Mata Nita terbelalak. Tak percaya. Feli dan Reta –cewek satunya-. Seluruh ruangan hening. Tak ada percakapan.
Benny langsung mengandeng Anya. Membawanya keluar dari pesta.
Di luar udara berhembus dingin. Tiada suara. Hening.
“Maafkan mereka.” Benny membuka mulutnya.
Anya menunduk. Kepalanya menggeleng.
“Mereka tak salah, aku yang salah memposisikan diri. Dari awal seharusnya aku tak di sini.”
Anya tak berani menatap Benny. “Maafkan aku,” Kakinya melangkah pergi.
Tiba-tiba tangan Benny memegang siku Anya, menahannya untuk tidak pergi. “Ini juga berat bagiku. Jangan pergi dariku. Tetaplah di sisiku.”
Kaki Anya tertahan. Napasnya tercekat kembali.
“Kau tak perlu sempurna. Adanya kau, sudah melengkapi hidupku. Apa yang kukatakan tadi di dalam, tulus. Maafkan aku yang selama ini tidak tegas dalam hubungan ini. Aku sungguh mencintaimu, Anya”.
Malam itu langit terlihat cerah disinari rembulan. Bersih tanpa bintang-bintang yang berkelip menghiasinya seperti malam-malam sebelumnya. Menjadi saksi akan dua insan remaja berpelukan, mengikat kasih. Tanpa perbedaan di antaranya.

THE END..

Sepotong Coklat Hati

Sepotong Coklat Hati

 Aku terlelap dalam mimpi indah ku yang mampu membawa ku dalam ketenangan. Entah sampai kapan laki-laki separuh baya ini masih menemani di sampingku. Setelah aku sadar kehadiran laki-laki ini membuatku terasa dalam kehidupan damai dengan melawati jalan tanpa sebuah cacat sedikit pun. Kehadiran laki-laki ini mampu membuatku tersenyum lepas.
Dia bagaikan matahari yang selalu membantu bulan untuk menyinari bumi walau memang pada malam hari ia tak kunjung datang. Namun Bulan, dia terlihat sendiri tapi, tak dapat berdiri sendiri.
Itulah kehidupanku, aku diciptakan dengan kedua kaki ku untuk berjalan melangkah secara bergiliran. Hati ku terlelap sendiri, tapi tak dapat berdiri sendiri. laki-laki itulah yang telah berani mengambil hati ku. Sekarang, dimana tanggung jawabnya. Dimana ia sekarang, aku sudah muak menerima ini. Hanya sebatang Coklat itulah yang kau beri kepada ku sebagai tanda tanggung jawab.
“Bulan, aku ingin kita ke puncak Besok”.
Aku heran dengan ucapan teman dekatku. Jarang bahkan mungkin sama sekali tak pernah ia mengatakan ingin ke puncak. Mata ku telah berhasil dibuatnya terbelalak.
“Ha? untuk apa Binar? Tidak, aku nggak akan ngizinin kamu pergi. Kamu punya kaca kan? Lihat keadaanmu sekarang!”. Jujur saja, aku sangat khawatir dengan keadaannya. Bibirnya pucat, semangatnya kini hilang diterpa angin dan terbawa oleh gelombang air laut. Matanya tak lagi cerah, bak air sungai tercemari Sampah-sampah jahat menyerang.
“Hmm, sebelum hari Valentine”
“Valentine?” Desisku panjang.
Hari ini mata ku terasa segar kembali melihat pohon-pohon mengayun bergoyang pelan. Daun-daun menari disorong angin sepoi-sepoi.
Berulang kali aku tersenyum melihat semua yang telah ditangkap oleh Mataku sendiri.
Tak sadar aku kembali merasakan kenyamanan. Tangan ku digenggam erat oleh Binar. Diciumnya beberapa kali tanpa rasa bosan menyelinap hatinya. Dia hanya menatap kedua mata ku dengan sangat lekat. Di setiap sudut mataku, ia lakukan hal yang sama.
Menerobos masuk ke dalam bagian dalam pupil mataku.
“Happy valentine” ujarnya sesekali mencium tanganku yang sudah berhasil berkeringat karena ulahnya.
“Hmm, kenapa kamu lakukan ini semua”
Suasana hening, tak terdengar alunan suara darinya. Ia hanya menyodorkan Coklat berbentuk hati dilindungi oleh kardus indah berwarna pink dengan putih sebagai atapnya. Jadi, dengan mudah mengintip isi kardus itu dengan mudah. Binar mengambilnya dari saku celana Jinsnya. Ia tersenyum padaku.
“bawa coklat ini pulang, oh ya dibuka nanti malam. Just for you”
Ku gelengkan kepala ku pelan. Ini semua seperti mimpi seorang Putri mendapatkan sebuah coklat dan untuk membukanya saja punya aturan.
Kubuka perlahan isi kardus Valentine yang Binar berikan tadi. Aku semakin. Tak mengerti dengan semua ini. Terselip sebuah kertas berisi goresan tangan Binar bertinta merah.
Jantungku semakin berdetak tak karuan. Kubaca dengan sangat teliti surat dari Binar.
(Bulan, maafkan aku. Aku sengaja meninggalkanmu. Aku tak ingin dekat denganmu dalam keadaanku seperti ini. Aku harus menjalankan Operasi di Jepang. I love you.. Aku akan kembali saat keadaanku memang benar-benar sehat. Entah itu 10 tahun lagi. Aku harap kamu juga mencintaiku.. Terimalah coklat hati dari ku I love you)
“Binar!” Teriakku diiringi dengan kesedihan hati, jiwa dan mata. Aku tak dapat membendung air yang telah bergenang di mataku. Suara ku kini telah mampu memenuhi ruangan, hingga orang-orang yang tak tau apa yang aku rasakan, mengira aku sudah gila. Kudekap coklat hati darinya. Tak ada bagian coklat yang aku cuil sedikit pun.
Hingga akhirnya, aku datang setiap harinya ke tempat pertama coklat ini jatuh di tanganku. Hanya suara ayunan lemah angin menghantam pelan dedaunan dan kicauan burung bernyanyi.
Aku sedikit kecewa dengannya. Binar? Dimana kamu sekarang.. Aku terduduk lemas tanpa energi yang tersisa. Aku duduk lagi-lagi di tempat pertama coklat itu jatuh di tanganku.
“Binar!!! Dimana kamu! Ini sudah hari Valentine tahun ke 14. Tapi dimana letak bantang hidungmu! Kau jahat!” Aku teriak sekeras mungkin berharap seseorang yang ku harapkan mendengarnya.
Sebuah lemparan coklat dengan kertas di atasnya entah dilempar dari mana asalnya, itu cukup membuat hati ku agak terdorong lega dan sedikit demi sedikit dapat merasakan nafas yang setiap kali kuhirup.
Kubuka perlahan isi surat itu..
Dan..
(aku sudah menyuruh seseorang untuk mengirimkan 14 coklat ku untuk mu di rumahmu. Aku rasa, aku tak dapat melanjutkan mengirimkan coklat untuk valentine selanjutnya. Aku terbaring lemas di atas ranjang kasur rumahku di Indonesia telah lama kurang lebih 3 bulan. Aku ingin kau berikan aku cukup 1 coklat hati untuk yang terakhir kalinya, aku ingin disaat bulan kehilangan cahaya Binarnya. Datanglah di rumahku, aku akan mengabadikan semuanya sampai tutup usia ku)
Aku terbaring di atas rerumputan hijau menggelar di atas bumi. Melawan panasnya matahari, dan memandang luasnya langit biru.
Binar tak berubah bagi ku. Dia tetap berhasil membuat tanganku berkeringat. Dia terbaring lemah di sampingku.
Ku ambil coklat hati dari tas pinggang pink ku yang sudah kusediakan tadi.
Ku angkat tinggi-tinggi coklat hati. Kupotong menjadi 2 bagian. Dan bagian 1 ku berikan kepada binar.
“Ini. Just for you. Kamu tau betapa sakitnya coklat dibagianku karena sudah ku pisahkan dengan coklat pasangannya. Jadi, inilah keadaanku saat kau pergi separuh hati ku mengikuti dimana setiap kau pergi. Aku mohon, kamu kuat melawan penyakitmu.” Ujarku memeluknya. Badanya semakin dingin tak melakukan gerakan sedikit pun. Coklat hati yang ia pegang tiba-tiba lepas sendirinya. Nafasku mulai terpenggal-penggal. Kugoyangkan tubuhnya. Tak ada reaksi.
Kugenggam erat tangannya. Ku letakkan separuh coklat hati di dadanya. Tubuhku masih terhempaskan pada rumput hijau bersama laki-laki yang aku cintai. Kuletakkan separuh coklat hati milikku tepat di hatiku. Aku tersenyum. Aku memandang putihnya awan, birunya langit dan cerahnya matahari, namun pandanganku sedikit demi sedikit gelap. Nafasku sedikit demi sedikit menghilang. Genggamanku mulai terlepas. Kini kurasakan, terbang.
Terbang jauh tinggi bersama Binar menggunakan burung sebagai transportasinya. Kugenggam separuh coklat hati. Binar pun tak mau kalah. Aku bercanda, tertawa, bahagia dan tersenyum di atas langit biru bersamanya..
Bersama Binar dan sepotong Coklat Hati….
Baru ku tau arti sebuah Valentine. Hampir 14 tahun lamanya hati ku menghilang entah kemana, 14 tahun memendam rasa kasih sayang.
14 tahun aku dibuat jera olehnya.
Hingga Valentine yang terakhir kali aku rasakan, inilah hari kasih sayang yang tergambar jelas pada terakhir sampai ku tutup usia dengan Binar.
Tangan ku digenggam erat olehnya. Kupeluk tubuhnya. Kita berdua tersenyum memandang orang-orang di hari Valentine dan Coklat hati.
Aku rasa aku sangat bahagia hidup tidur nyenyak di awan putih bersama Binar.
Dan aku menemui Bulan seperti halnya nama ku.
Aku tak memikirkan apakah tubuhku dengan tubuh binar sudah dikuburkan. Karena yang aku tahu, sepotong coklat hati menempel pada dadaku dan dadanya.
Inilah kisah Cinta ku pada Valentine.
Terbang bersama Binar dan… Sepotong Coklat hati…

THE END..

Penyesalan Cinta

 Penyesalan Cinta

 CINTA…
Cinta bagiku adalah rasa kasih sayang terhadap sesama… cinta itu suci… indah… dan tak dapat di ungkapkan dengann kata-kata.
PENYESALAN…
Penyesalan untuk ku merupakan perasaan bersalah atas semua keputusan… perbuatan yang telah ku ambil dan ku lakukan.
PENYESALAN CINTA
Setiap manusia pasti pernah merasakaan apa itu jatuh cinta, dan setiap manusia pasti tak lepas dari kesalahan juga merasakan penyesalan.
Namaku jaya… ini adalah kisah ku, dimana aku merasakan penyesalan karena kesalahan yang teramat besar dalam kisah percintaan ku.
Berawal dari tahun 2007, saat bertemu dengan seorang gadis yang lugu, manis, baik, dan pastinya pintar. Dia bernama Omega Yulistya biasa di sapa MEGA… Ku mengenalnya belum lama tapi kita cepat dekat dan tak lama kita pun jadian, saat itu bulan romadhon.
Mega adalah wanita pertama yang menjadi cewek ku. Dia benar-benar baik, pengertian, perhatian dan rela berkorban demi kebahagiaan ku. Setalah hubungan kita berjalan 2 tahun ku melakukan kesalahan yang teramat besar… ku telah menduakannya tanpa perasaan setelah apa yang semua berikan pada ku, setelah apa yang dilakukan untukku.
Dia tahu ku menduakannya… tapi dia tetap setia menungguku selama 3 tahun lamanya dan dia tetap setia berkorban apapun untukku.
“Kita akan merasakan seberapa berartinya wanita yang tulus dan ikhlas mencintai kita setelah kita benar benar kehilangannya”
Perkataan itu memang benar faktanya…
Setelah 3 tahun dia menunggu ku.. menunggu semua janji-janji yang kuberikan padanya… setelah 3 tahun dia menanti sebuah kepastian dari diriku untuk menikahinya… dan setelah 3 tahun apa yang menjadi harapannya dan impiannya tak terwujud tapi sakit juga pengkhianatan yang dia trima. Akhirnya dia lelah… dia tak sanggup lagi… dan memutuskan untuk berhenti berharap dari ku.
Ku sadar atas semua kesalahan ku… kesetiaan dan pengorbananya telah ku sia-siakan
Perkataan darinya yang sampai skarang masih ku ingat “karma itu ada… dan kamu pasti akan merasakan apa yang kurasa… kamu akan menyesal seumur hidup mu” dan ternyata itu benar
Ku telah berusaha untuk kembali, untuk menebus semuanya. Tapi semua telah terlambat dia telah mendapatkan pendamping yg benar-benar bisa membuatnya nyaman dan bahagia… sedangkan aku… hanya bisa meratapi kehancuran yang selama 3 tahun ku tak bisa berhenti mengharapkannya sampai sekarang.
Satu hal yang bosa ku ambil dari semua ini…
“janganlah menyia-nyiakan orang yg tulus ikhlas mencintai kita, hargailah pasangan sebagaimana kita menghargai diri kita sendiri”

THE END..

Kebahagiaan di Balik Kesedihan

 Kebahagiaan di Balik Kesedihan

 Namaku Rain seorang mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi swasta yang terkenal di Surabaya. 2 bulan lalu usiaku menginjak 20 tahun tetapi masih saja aku jomblo. Sial sekali nasibku sudah 2 tahun menjomblo.
Hari ini adalah hari pertamaku kuliah. Rupanya bel tanda masuk sudah berbunyi aku pun berjalan dengan gaya santai sambil menggunakan headshet. Tak sengaja aku melihat Kakak perempuan pembina OSPEK di depan, aku pun melepas headshet dan mengajak ngobrol dia, siapa tau dia tertarik kepadaku, hehehe aku tersenyum sendiri. “Misi Kak, aku mau nanya nih, ruang OSPEKnya dimana ya?” Dia menjawab “Di situ, di ruangan pojok yang terlihat banyak maharu berkumpul”. “Ohh di situ ya kak, Thank you ya kak. Oh ya nama kakak siapa? (dalam hatiku berkata lumayan lah bisa berkenalan dengan cewe cantik)”. “Aku Jane, sudah kamu kesana dulu, udah bel dari tadi loh kalau kamu terlambat bisa-bisa nanti aku hukum kamu loh hahaha” Aku pun menjawabnya dengan senyum lebar “Iyaa kak Jane thank you lagi ya”. Aku pun berjalan meninggalkannya.
Karena perutku lapar, dan aku belum sarapan tadi pagi aku pun memutuskan untuk pergi ke kantin dan nyamil sebentar. Kira-kira 5 menit aku berada di kantin, dan aku pun berjalan ke ruang OSPEK.
Sesampainya di ruang OSPEK aku mengintip lewat jendela, ternyata acaranya sudah di mulai. “Waduh gawat nih, moga aja waktu aku masuk gak ada yang ngelihat”. Aku pun membuka pintu perlahan-lahan tetapi pintu ini malah bersuara keras dan seketika itu semua mata tertuju padaku. “Hei kamu yang baru masuk, jam berapa ini acara sudah mulai kamu baru datang sana keluar” kata pembina ospek. Aku pun akhirnya di hukum di luar, aku di jemur di dekat tiang bendera. “Hah, seperti anak SD saja aku di hukum seperti ini” Tiba-tiba terdengar suara “Apa? Apanya anak SD?” Ternyata Kak jane datang dan membawa suatu kertas. “Eh Kak jane, panas sekali di sini, bantuin aku supaya bisa masuk lagi donk hehehe” Kata Kak Jane “bantuin masuk gimana? orang tadi di suruh cepet masuk kamu malah ke kantin dulu”. “Tadi aku laper kak, tadi pagi aku belum sarapan”. “Yah, salah kamu berarti tadi pagi nggak mau sarapan dulu” ujar kak Jane. “Iya deh iya, aku yang salah”. “Jangan lemes gitu donk, besok kamu udah boleh ikut OSPEK lagi kok, nih aku bawain kertas buat kamu kipas-kipas biar gak kepanasan hahahah”. “Seneng banget ya kak lihat orang kepanasan”. “Ya enggak lah, yaudah aku mau masuk dulu, Selamat berjemur ya”. kak Jane pun berjalan meninggalkan aku. “fiuhh, panas banget udaranya, besok aku gak mau ikut ospek lagi ah, males” kataku dalam hati.
Ahkirnya 2 hari OSPEK terlewati dengan tidur-tiduran dan mendengarkan musik di rumah, hahaha rasanya lega sekali terbebas dari ospek. Hari ini, hari pertamaku kuliah, hmm apa yang akan ku alami ya? benar-benar tidak sabar. Aku pun berangkat dari rumah dan sampai di kampus jam 6 lewat 20 menit, kampusku masih terlihat sepi, saat aku berjalan menuju ruanganku, aku bertemu dengan seorang perempuan, “Hai, siapa namamu?” tanyaku pada dia. Dia menjawab “Kenapa kau ingin tau namaku?, apa kita ada urusan?”. “Umm, nggak.. memang salah ya kalau mau tanya nama?” Aku mendekati bangkunya dan menatapnya. “Apa? Kenapa kau melihatku sampai segitunya? ada yang salah?”. Aku menjawab “tidak”. “Baiklah-baiklah, namaku Katie Greslan, sekarang kembalilah duduk di bangkumu”. “Hahaha, oke oke kat” Aku berjalan ke bangkuku, Aku sengaja memilih bangku di sebelah kanannya persis. “Wah, sejak kapan bangkumu di sini?” tanya Katie terkejut. “uhmm, ehmm, mungkin 10 detik yang lalu aku sudah duduk di sini” jawabku sambil tertawa kecil. Katie menjawab “grrr, oh iya, namamu siapa?”. “Aku?” jawabku. “nggak sebelahmu” kata katie. “Sebelahku? wihh jangan-jangan kamu bisa melihat yang aneh-aneh ya? isss serem banget” kataku mengerjainya. “grrr terserahlah” kata katie dengan jengkel, ia langsung memalingkan mukanya ke depan. “Wahahah, cewek, jangan gitu donk, hahaha.”
Tiba-tiba kak Jane, pembina ospek memasuki ruanganku. “heyy Rain” Kak Jane menyapaku. “Hey Kak, pagi kak hehehe” Aku menjawabnya dengan ramah. “Jalan yuk, di kelasku masih sepi” kata kak Jane kepadaku. “As long as it’s your wish I’ll do for you” kataku sambil tersenyum. “Hahaha, dasar kamu itu Rain rain” Kata Kak Jane sambil berjalan keluar. “Kita mau kemana ni kak?” tanyaku padanya. Ia menjawab “nggak tau jalan-jalan saja, oh ya panggil aku Jane saja gak usah pake “Kak”, kita kan Cuma beda 1 tahun.
Aku dan Jane berjalan-jalan sambil bercanda tawa sampai bel berbunyi, kami pun berpisah dan kembali ke kelas masing-masing. Sesampainya aku di ruang kelas, ruang kelasku ternyata sudah ramai. “Misi nona, apa bangku ini kosong?” Kata seseorang mahasiswa kepada Katie. Katie menjawabnya “uhmm iya mungkin kosong, tadi sih ada orangnya, tapi tau tuh orangnya ngilang, duduk aja di sini”. Aku langsung berkata “Oi oií itu punya gua bangkunya, sorry ya aku uda duluan tadi”. Dia menjawab “Yoi santai aje Bro, gua duduk di belakang lu aja dah”. “Yah terserah lu sih” Kataku. “hei katie, kok kamu bilang bangkunya kosong sih, kan ada aku” kataku kepada katie. Ia menjawab “oh iya aku lupa, maaf ya rain”. “Okay, santai aja”
Tidak lama kemudian dosenku datang. Saat memperkenalkan diri pun tiba, tiba-tiba namaku yang di sebut pertama “Rain, maju perkenalkan dirimu pada temanmu” kata dosenku. “Oke guys, namaku Rain Stew, kalian bisa memanggilku Rain saja, umur 20 tahun, tinggal di jalan kembang api 22, Status gua single lohh?” kataku supaya suasana tidak bosan. “Hahaha, ngapain pake status bro?” kata salah satu mahasiswa. “Biarin bro, kali aja ada yang minat” aku menjawabnya sambil tertawa. Teman-temanku tertawa.
Saat perkenalan selesai kini saatnya pelajaran berlangsung, karena aku bosan dengan dosennya aku melamun dan tertidur, tiba-tiba penghapus papan melayang ke kepalaku. Aku pun terbangun karena refleks, semua teman-temanku menertawaiku. Jam demi jam kulewati dengan rasa ngantuk ini, setelah menunggu sekian lama bel pulang pun berbunyi. “kat katie, pulang bareng siapa?” tanyaku. “uh? aku? akuu.. hmm akuu, aku jalan ke kos-kosanku.” “hmm jadi kamu kos.. Ya udah ayo aku anter pulang, mumpung aku bawa motor nih” kataku. “Nggak usah kos-an ku deket kok, jalan aja juga uda nyampe kok”. kata katie menolak. “Udahlah nggak usah nolak lagi, ayo aku anter”. Dengan susah payahnya aku membujuknya ahkirnya dia pun mau. Aku pun tidak langung mengantarnya pulang, tetapi aku membawanya ke suatu restaurant.
“Eh? kenapa kita kesini rain?” tanya katie heran. Aku menjawab “Aku lapar, makan dulu ya baru pualng”. Katie hanya menjawab iya, aku tau dia tidak mempunyai pilihan lain hahaha, aku tertawa dalam hati. “Silahkan pesan nona Kati Greslan” kataku menggodanya. “Nona? emang aku sudah tua gitu ya “. “Hahaha nggak lah, Mas pesen Sirloin steak sama Jus apukat ya” kataku. “Baiklah, Nona pesan apa?” Kata pelayan itu. “Uhmm, Saya pesan nasi goreng sama es jeruk manis hangat.” Kata katie. “He? Es jeruk manis hangat? mana bisa make es tapi hangat? hahaha” kataku kepadanya. Katie menjawab “Oh iya hehe es jeruk manis mas maksud saya”. Setelah kami selesai makan, kami bercanda tawa sampai lupa waktu, ternyata jam sudah menunjukan pukul 18.05, fiuhh 1 jam ngobrol sama katie, menyenangkan juga. Aku pun mengantarkannya pulang, dan aku sampai ke rumahku sekitar jam 8 lewat. Aku pun berbaring di tempat tidurku, aku membayangkan kejadian-kejadian selama sehari penuh ini.
Beberapa hari setelah aku kuliah, tidak ada yang spesial, kini aku mendapatkan tugas berkelompok, otomatis aku memilih katie sebagai patnerku. Tugas kami berlima ialah membuat mading, mading-mading terbaik akan di pamerkan di SMA SMA ternama, maka aku dan katie sangat bersemangat dalam hal ini. Kami pun di beri waktu di jam tertentu untuk mulai mengerjakan mading, tak sengaja tangan katie terkena pisau, aku pun langsung keluar dan berlari menuju ruang UKS. Setelah aku mendapatkannya, aku pun segera berlari kembali ke ruang kelas dan mengobati tangan katie yang berdarah, “Hosh hosh, katie sini aku obatin tangan kamu” Kataku padanya. Ia menjawab “Kamu kenapa rain kok ngos-ngosan?”. “Udah gak papa sini” kataku sambil menariknya. Aku pun mengobatinya, tidak tau kenapa aku begitu khawatir padanya, apa aku sudah jatuh cinta padanya? huss, kalau aku jatuh cinta padanya bagaimana Jane, aku tak mau menyakiti mereka berdua. Eh hahaha emang Jane menyukaiku? Emang ada-ada saja aku ini. Seperti biasa hari ini aku mengantar Katie pulang ke kos-annya. Semakin hari hubunganku dengan katie makin akrab, sementara itu aku sudah lama tak berhubungan dengan Jane, bagaimana ya dia? Hmm sudahlah, mungkin dia sudah punya pacar, sekarang aku harus fokus pada katie. Aku harus memperjelas hubunganku dengannya. Aku benar-benar jatuh cinta padanya, kini saatnya mencari waktu untuk menembaknya
Suatu saat, saat mading mereka menang, mereka mengadakan perayaan bersama-sama sekelompok. Mereka merayakan saat malam bulan purnama. Saat itu aku menyetel lagu “Just the way you are” aku menarik tangan katie dan mengajaknya dansa, aku dan katie berdansa di temani oleh bulan yang indah dan musik yang romantis, Aku sengaja semakin mendekat ke katie, katie pun kaget dan berusaha mundur, tetapi aku tak membiarkannya, aku membisikinya dengan perlahan “Maukah?”. Aku langsung berlutut dan mengelurakan kotak berisi kalung emas, aku menyatakan perasaanku padanya, saat itu pula aku menepukan tanganku, maka teman-temanku keluar dan membawakan seikat bunga per orang, mereka membawa bunga-bunga itu ke katie sesuai rencanaku. Aku melanjutkan kata-kataku “Katie.. Maukah kau menjadi pasanganku?”. Aku melihat Katie sudah menutup mulutnya dan tersenyum, apa artinya ya? hatiku bertanya-tanya. Katie menjawab “Aku.. akuu.. As long as it’s your wish I’ll do for you”. “Itu? berarti kamu mau donk? hahaha yess, sini aku pake’in kalungnya sebagai tanda cinta kita”. “Rain, thanks ya, kejutanmu, kasih sayangmu, perhatianmu, atas semuanya kucucapkan terima kasih” Kata katie kepadaku.
Suatu hari Saat malam tiba entah kenapa aku ingin bertemu dengan katie, dengan alasan apa tapi aku menemuinya, hmm aku akan alasan membicarakan pelajaran sip berangkat. Sebelum aku menuju rumahnya, aku membeli nasi goreng untuknya. Sesampainya di kos-annya aku mengetuk kamarnya. “Katie, katie, aku Rain, aku ke sini ingin membicarakan pelajaran denganmu, bukakan pintunya donk” “Rain? malam-malam begini ngapain kamu kesini? emang madingnya nggak bisa besok ya? hufft, ya udah ke taman kita ngobrol di situ.” katie menjawabku sambil menguap.
Aku memberikan nasi goreng yang tadi kepadanya, kebetulan katanya dia belum makan, memang ikatan cinta begitu kuat hahaha aku tertawa dalam hati. “Makasih ya rain makanannya, aku berhutang banyak padamu, oh ya kamu mau bahas yang tadi?” tanya katie. Aku menjawab bla bla bla secara panjang lebar dan rumit, karena sebenarnya aku bingung mau bertanya apa. Ternyata Katie tertidur di pundakku, kenapa jantungku berdetak kencang, meskipun aku dan dia sudah berhubungan selama 2 minggu ternyata aku masih nervous. Karena sudah malam, dan di sini banyak nyamuk, aku mengendong Katie dengan perlahan-lahan, aku takut aku membangunkannya, aku meletakannya di kamarnya, aku menyelimutinya dan berkata dengan pelan “Sweet dream dear” dan aku segera keluar.
Hari demi hari, bulan demi bulan ku lewati dengan bahagia bersama katie, walaupun kadang kami bertengkar, kami saling ngambek, tetapi itu tidak meruntuhkan hubungan kami. Tak terasa hari ini ialah ulang tahun Katie, rencananya aku ingin memberikan surprise. Tetapi..
Saat aku berjalan membeli bunga untuknya tiba-tiba kios itu runtuh, dan ada besi yang mau menimpaku. Aku pingsan, dan saat aku terbangun aku sudah ada di rumah sakit, tapi kenapa tubuhku tidak terasa sakit sama sekali? saat aku menoleh, aku melihat Jane!! Iya benar aku melihat Jane terbaring dengan tangannya di perban, aku menghampirinya. “Janeee!! Janeee!! Kamu kenapa? tanganmu itu kenapa?”. “Rain,” Jane memanggilku dengan perlahan.
Seorang saksi berkata padaku bahwa Jane yang menyelamatkan nyawaku dan karena menyelamatkanku sekarang tangan kirinya tak berfungsi lagi. Aku benar-benar menyesali kecerobohanku, kenapa? KENAPA harus Jane yang terlukaa? KENAPA TUHAN?. Aku benar-benar emosi saat ini. “JANEE!! Kenapa sih kamu mesti nyelametin aku?”. “Rain, aku sayang sama kamu, aku sayang kamu sebagai sahabat Rain”. “JANEE!! kenapa kamu ngelakuin hal bodoh ini?”. “Apa itu jawabanku kurang memuaskanmu Rain?”. “Jane, maaf kalau aku membentakmu dari tadi.. Aku ingin pergi sebentar, jaga dirimu” Aku berjalan meninggalkan Jane.
Walau hujan turun takkan mengurungkan niatku untuk bicara pada Katie, saat aku sampai di rumahnya, aku lihat dia bahagia dengan surprise yang kuberikan, tetapi surprise yang terahkir ini belum tersampaikan, aku takut tak bisa menyampaikannya. Aku hanya berdiam di depan rumahnya, hanya menggenggam mawar merah di temani hujan yang lebat, aku.. aku hanya menggenggam mawar ini erat-erat dan aku.. aku mulai meneteskan air mata, aku hanya meninggalkan bunga mawar dengan secarik kertas. Aku menelpon salah satu sahabat karibku dan menceritakan semuanya, aku meminta supaya ia membuat katie jatuh cinta padanya, supaya katie bisa melupakanku, dan aku bisa menebus kesalahanku.
Aku kembali ke rumah sakit dengan keadaanku, Jane melihatku dengan sedih “Rain, kamu kenapa? tanganmu berdarah? apa yang terjadi Rain?” Jane bertanya padaku. “Aku tak apa-apa, kau istirahatlah”. Aku duduk di sampingnya dan menceritakan lelucon-lelucon seolah-olah kami bercanda biasanya, aku menemaninya sampai ia tertidur, tak lama aku pun tertidur, dan saat aku bangun, tubuhku sudah terselimuti. Padahal tadi malam aku tidak memakainya. Aku membuang ponselku agar katie tak bisa menghubungiku, aku tau bahwa aku pengecut, tapi aku tak bisa meninggalkan Jane dengan keadaan seperti ini.
Saat keadaan Jane membaik, aku mengantarnya ke kampus, walaupun biasanya aku selalu bersama katie, tetapi kini Jane yang ada di posisiku, saat aku sampai aku melihat katie dengan sahabatku berdua, Katie menghampiriku dan menamparku, aku tau aku salah, tapi yang kuinginkan sekarang hanya membahagiakan JANE, tak peduli resikonya, aku hanya ingin membahagiakan dia, karena dia aku masih berdiri di sini. Aku hanya diam. “Rain! Katakan padaku siapa dia?” bentak katie padaku. “Dia adalah wanita yang kucinta, dia baru mengalami musibah, jadi sopanlah padanya” kataku sambil memendam rasa sakit dalam hatiku. “Rain!! Aku kecewa padamu” Sekali lagi katie menamparku, walaupun aku sakit, aku hancur, aku rapuh, semuanya tak bisa kuungkapkan hingga Jane sembuh kembali. Kami selalu berjalan bersama, sesekali aku bertemu dengan katie yang tertawa gembira bersama sahabatku, walaupun itu sakit bagiku, tapi kalu itu membuat Katie lebih bahagia sekarang, apa pentingnya perasaanku sendiri, yang penting orang lain di sampingku bahagia.
Suatu hari aku dan Jane bertemu pacar Jane yang baru datang dari belanda. “Jane? Siapa cowok ini? cowok kamu? Ohh bagus, di tinggal 1 bulan aja udah selingkuh? bagus banget lu, tuh tangan lu kenapa? Gara-gara lu selingkuh mungkin itu hukuman dari Tuhan buat lu”. Aku memotong pembiacaraanya “STOPP!! Jaga tuh mulut lu”. Aku melihat Jane menangis, dan ia tak bisa berkata-kata lagi. “Udah yah lu gak usah ikut campur, ini urusan gua sama si tangan satu ini?”. “JAGA mulut lu” Aku membentaknya dan hampir memukulnya, kalau Jane tidak memanggilku, sudah habis dia. Aku sadar bahwa perbuatanku membuat hatinya jadi tambah kacau, aku ahkirnya berbalik badan dan memeluknya erat-erat dan berkata “Jangan bersedih, aku takkan membuatmu menangis, ikutlah aku”. Setiap hari aku merawatnya, aku selalu membahagiakannya, tak pernah aku menyakitinya, walau sebenarnya hatiku ini hancur karena aku hanya bisa diam melihat katie yang akan bertunangan. Berbagai cara kulakukan untuk membahagiakan Jane. Mungkin jika aku membahagiakan orang lain terlebih dahulu kelak aku kan mendapat kebahagiaan yang utuh. Selama 2 tahun aku dan Jane selalu bersama, aku selalu memberikan apa yang ia mau, ahkirnya aku sadar perasaanku ke Katie hilang, dan aku memutuskan untuk hidup bahagia selalu bersama Jane.

THE END..

Dia Kenbali

Dia Kenbali

 Ini tahun dimana aktifitas Nuna bekerja, setelah 3 bulan lalu Nuna dinyatakan lulus oleh perguruan tinggi dimana dia belajar selama ini. Telah 5 penawaran lowongan kerja datang kepadanya, tapi dia memilih untuk mengabaikannya. Dan akhirnya dia memilih kota Semarang untuk memulai kehidupan barunya. Memang dia sangat ingin hidup di kota Semarang, kota yang berbukit-bukit dan memiliki kenangan yang sangat indah baginya. Sebenarnya kenangan itu telah lama berlangsung, tapi entah dia tidak bisa untuk melupakan kenangan itu. Setelah sesampainya di Semarang, tersungging senyum nan bahagia di bibirnya. “akhirnya sampai di stasiun ini lagi, tapi dengan suasana yang berbeda.” Ujarnya sambil menghela napas panjang.
Dia tahu mustahil baginya untuk bisa bertemu lagi dengan seseorang yang masih di pikirannya saat ini. Walaupun besar harapannya untuk bisa bertemu kembali. Nuna telah berusaha keras melupakan tapi apa daya, nama, wajah dan suaranya masih terus membayanginya. Seseorang dengan teganya mencampakkan dirinya, setelah kepulangannya dari Semarang tahun lalu. Dia hanya bisa meneteskan air mata sedetik kemudian setelah dia melewati pintu keluar. Dulu di tempat ini, ada seseorang yang menjemputnya dengan tersenyum ke arahnya. Sekarang hanya lalu lalang orang yang beberapa di antaranya membawa koper-koper yang cukup besar, dan yang lainnya para bapak-bapak asik menawarkan tumpangan ojek, taksi, becak dsb. Nuna memilih taksi untuk mengantarnya ke tempat tujuan. Nama temannya yaitu Echi, dialah yang selama ini mendengarkan keluh kesah Nuna mengenai seseorang yang masih di pikirannya itu.
“Nuna, wah lama tidak bertemu denganmu. Bagaimana kabarmu?” Ujar Echi histeris. Echi tetap sama, tanpa perubahan sedikitpun. Dia masih saja kecil, mungil, rambut lurus sebahu dan berkulit sawo matang. Dia bukan berasal dari Semarang, dia orang asli Tidore.
“Hay, baik Chi. Bagaimana denganmu? kau tidak berubah ya?” kata Nuna tidak kalah histeris.
“Mau berubah bagaimana. Aku iya seperti ini Nun.” Nuna hanya manggut-manggut dan kemudian ngeloyor masuk ke kamar Echi. Nuna diam beberapa menit dan echi pun juga. Echi tahu apa yang sedang dipikirkan sobatnya itu jadi dia memilih untuk diam juga. Setelah beberapa menit berlalu, Nuna tersenyum sendiri.
“Chi, aku rindu dengan tempat ini. Aku rindu dengan tempat-tempat yang pernah kita datangin bersama dia. Teramat rindunya aku sampai tidak bisa membendung lagi air mataku. Kau tahu, bahkan aku masih ingat tempat-tempat dimana saja yang pernah aku kunjungi bersama dia. Seperti di stasiun tadi, aku merasa ada sosoknya sedang menjemputku. Tapi itu hanya bayanganku saja. Dia tidak a…”
“Stop Nun. Kau terlalu banyak berbicara. Kau pasti lelah. Tidurlah. Besok kita bicara lagi. Ini juga sudah malam” Potong Echi. Dia tidak tahan lagi melihat sobatnya terus menderita seperti ini. Dia seakan-akan ikut merasa menderita jikalau Nuna sedang bercerita tentang laki-laki itu. Nuna hanya terdiam dan terisak pelan. Teramat pelan Echi sampai tidak mendengar isaknya. kemudian Nuna merebahkan tubuhnya dan terlelap.
Keesokan paginya, Nuna bangun lebih awal dari Echi. Tanpa membangunkan Echi Nuna pergi untuk berjalan-jalan menghirup udara kota Semarang di pagi hari. Dia berjalan lurus ke barat, Nuna bermaksud ingin mengunjungi kampus Echi. Dulu selamanya di Semarang, sekalipun dia tidak pernah berkunjung ke kampus Echi yang kebetulan sama dengan kampus laki-laki itu. Sigit selalu melarang Nuna untuk pergi ke kampusnya dengan alasan yang tidak jelas. Iya Laki-laki itu bernama sigit. Nuna nurut saja, dia tidak terlalu memusingkan hal itu. Selama di Semarang, Sigit selalu menemani kemana Nuna ingin pergi. Dan saat ini, semua telah berbeda Nuna hanya sendiri.
Sesampainya di depan kampus, Nuna langsung menuju gedung yang dulu pernah ditunjukkan Echi dari kejauhan bahwa itu tempat yang biasanya Sigit datangi. Nuna menyusuri lorong-lorong, melewati taman sambil memotret suasana di sekeliling. Nuna suka memotret apa yang dia rasa bagus, hasil jepretannya lumayan. Tapi dia tidak berkeinginan menjadi fotografer itu bukan bakatnya. Tiba-tiba Nuna berhenti di suatu ruang yang terdapat banyak foto-foto terpajang rapi di dinding. Nuna masuk dan melihat satu demi satu foto-foto tersebut, sampai di barisan ketiga tengah dia langsung terdiam sambil terus memandangi foto tersebut.
“Nuna kau kemana saja? Ponselmu juga tidak dibawa, pantas saja aku telpon tadi tidak diangkat. Aku cemas setengah mati mencarimu.” Tanya Echi terengah-engah. Echi benar-benar cemas, takut Nuna tersesat kalau pergi sendirian. Dia tidak tau daerah Semarang.
“Aku hanya jalan-jalan ke kampus mu. Itu saja! Kau tahu aku sebegitu penasaran dengan kampusmu. Baru sekarang aku bisa melihatnya. Disana aku menemukan foto dia terpampang rapi beserta alamatnya. Aku berencana untuk ke rumahnya.” Jawabnya antusias.
“Ke rumah laki-laki itu maksudmu? Itu jauh dari sini Nun. Jangan macam-macam!” Ancam Echi.
“Aku tahu. Tapi aku akan tetap kesana. Masuk kerjaku masih dua hari lagi jadi aku bisa menyempatkan untuk pergi kesana. Kau mengijinkan aku kesana kan?”
“Mau gimana lagi, masa aku melarangmu. Kau pasti akan tetap nekat.”
“Terimakasih kau memang sahabatku yang paling manis.”
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah siap dan masak sarapan buat Echi. Wajahnya ceria sekali. Echi yang melihat jadi tersenyum senang melihat tingkah sahabatnya, tapi di hatinya ada rasa cemas melanda. Apakah mungkin dengan berangkatnya Nuna kesana akan memperbaiki semuanya. Sigit sudah benar-benar mencampakkan Nuna, dia tidak cinta bagaimana yang pernah dia katakan dulu. Bahkan tak pernah sedikitpun menghargai Nuna.
“Keretanya jam berapa?” tanya echi tiba-tiba.
“Kau mengagetkanku.” Echi hanya tersenyum. “Jam 8 Chi. Sebentar lagi aku berangkat. Kau baik-baik disini. Oya, kau tidak kuliah?”
“Aku masuk siang. Sesampainya disana kau harus menghubungiku. Aku benar-benar mencemaskanmu.”
“iya.”
Tepat pukul 08.00 WIB, kereta meluncur ke arah barat menuju Bandung. Tekatnya sungguh kuat ingin bertemu Sigit kembali. Tujuannya hanya ingin melihat sang pujaan hati, dia sangat rindu sekali. Tujuh jam telah berlalu, dan kereta telah sampai di stasiun. Dari Semarang sampai Bandung Nuna tidak memejamkan mata sama sekali, dia tidak sabar untuk tiba di Bandung. Tidak sabar untuk bertemu dengan Sigit.
Nuna sedang menyusuri jalan dan sambil mencari-cari nomor yang dituju. Tepat di dekat pertigaan terdapat rumah menghadap ke arah selatan berpagar tinggi warna hitam. Pasti itu rumah Sigit tidak salah lagi pikir Nuna. Dia langsung menekan bel yang terdapat di ujung kanan pagar. Dan selang beberapa menit keluarlah seorang perempuan berpakaian daster bercorak bunga.
“Cari siapa mbak?” tanya perempuan itu.
“Sigitnya ada?” tanya Nuna hati-hati.
“Owh, Den Sigit. Beliau sedang keluar mbak. Baru saja.”
“Kira-kira keluar kemana mbak?” tanya Nuna sekali lagi.
“Seperti biasa mbak, keluar dengan teman-temannya. Mbak ini siapanya ya?”
“Saya temannya mbak dari Semarang. Kalau begitu saya pamit dulu mbak. Oya, tolong kasihkan ini kepada Sigit. Terimakasih.” Tanpa melihat balasan dari perempuan tersebut. Nuna langsung ngeloyor pergi. Terlihat raut wajah perempuan itu bingung dan merasa kasihan terhadap Nuna. Nuna terus berjalan menjauhi rumah Sigit sambil menundukkan kepala. Sebelum berangkat, dia sudah menyiapkan sebuah surat dan sebuah bingkisan buat Sigit. Dia berencana untuk mencari penginapan di dekat rumah sigit. Dia akan tetap menunggu sampai besok, jikalau Nuna tidak bisa bertemu dengan Sigit dia akan benar-benar melepaskan laki-laki itu.
Di rumah Sigit,
“Den, tadi ada yang mencari Aden. Katanya dari Semarang, seorang perempuan.”
“Perempuan? Dia tidak menyebutkan nama Bi?”
“Tidak Den. Tapi Nona itu meninggalkan ini buat Aden.” Sigit sibuk melihat-lihat bingkisan itu sambil memasang raut wajah bertanya-tanya. “Saya permisi dulu Den.”
“Oya Bi, terimakasih ya.” Tanpa melihat kepergian bibi dan terus mengamati bingkisan itu.
Sigit langsung membuka bingkisan itu dengan terburu-buru, dia sangat penasaran siapakah gerangan orang yang telah datang jauh-jauh kemari memberikan ini pula. Hal pertama yang dia temukan adalah sebuah surat. Dan isinya:
Dear Arif Rahman Sigit,
Sebelumnya aku minta maaf kalau aku terus membuatmu merasa terganggu. Aku hanya ingin mempertahankan apa yang aku inginkan. Apa itu salah?? Apa aku egois dalam hal ini?? Kurasa tidak. Aku mencintaimu dan aku menginginkanmu itu wajar menurutku. Tapi aku sadar satu hal, kau sudah tidak menginginkanku. Bahkan itu pertama kali pertemuan kita, kau tidak pernah melihatku. Hanya saja kau merasa bertanggung jawab atasku. Dalam hal itu aku berasa bersalah, telah menjadi bebanmu. Tapi kau memintaku untuk datang. Apakah perkataanmu dulu hanya berkesan di mulutmu saja tidak di hatimu?? kau yang membuatku seperti ini dan kau kemudian pergi tanpa minta ijin. Jujur, aku telah melakukan segala upaya untuk melupakan bayangmu, semua tentangmu. Tapi smua mustahil, kau terus memenuhi pikiranku. Aku cukup menderita akan hal itu.
Bukankah kau jahat dalam hal ini?? Kau meninggalkan kenangan di otakku dan kau melupakannya begitu saja. kenapa kau tidak juga membawanya pergi. Aku ingin sekali bisa lupa akan semua kenangan ini. Tapi itu tidak bisa, sungguh sulit.
By. Nuna
Sigit hanya diam beberapa jam sambil memandangi surat itu, surat yang dapat membuat hatinya tersayat saat ini. Tampak dia menggigit bibir bawahnya, menahan getaran di mulutnya. Kemudian dia beralih ke sebuah kotak berwarna coklat dan dibukanya kotak tersebut. Isinya ternyata foto-foto dirinya dan Nuna semasa mereka masih bersama. Foto Nuna yang sedang asyik makan, melamun, menatap langit, diam-diam dijepret Sigit. Foto Sigit saat sedang memancing, saat sedang tidur, saat sedang makan dan masih banyak lagi. Dan terakhir foto Sigit menggunakan Toga yang sempat dipotret Nuna waktu datang ke kampus Sigit. Sigit sangat terkejut mendapati foto itu, kenapa bisa Nuna memiliki foto dirinya dengan berpakaian seperti ini. Sigit tidak tahan lagi, tanpa dia sadari air matanya menetes. Dia tidak menyangka bahwa cinta Nuna buatnya begitu dalam. Bahkan hampir satu tahun ini dia telah meninggalkan gadis itu.
“Kenapa dia memiliki foto ini?” Tanyanya pada diri sendiri. Suaranya bergetar. “Bi, Bi Minah.” Teriaknya. Dia langsung berhambur keluar kamar. “Bibi.” Teriaknya sekali lagi.
Dengan terengah-engah Minah berlari menuju tuannya. “Ada apa Den? Teriak-teriak begitu.” Tanya Minah bingung.
“Perempuan tadi, yang datang kesini. Sudah lama datangnya??”
“Tadi Sore Den, sewaktu Aden baru berangkat ke rumah teman Aden. Sepertinya sudah lama, kemungkinan dia sudah kembali ke Semarang. Kenapa Den?”
“Tidak. Aku pergi Bi. Kasih tahu sama papa mama aku tidak tidur di rumah malam ini.”
Sigit berlari ke kamar dan mengemasi barang-barangnya dan membawa sedikit baju untuk ganti. Dia berencana untuk menyusul Nuna ke stasiun. “Kereta jurusan ke Semarang baru besok berangkat, jadi paling tidak Nuna tiba di stasiun besok. Jadi aku akan menunggunya di stasiun, bagaimanapun caranya aku harus bertemu dengannya. Bahkan jika harus ke Semarang aku tidak peduli.” Sigit bergumam sendiri.
Sigit telah menunggu lama hampir 5 jam, tapi Nuna belum kunjung datang. Dia terus mondar-mandir kebingungan dan mencemaskan Nuna. Bagaimana bisa gadis seperti Nuna dibiarkan berkeliaran di kota sebesar Bandung dan dia tidak tahu-menahu tentang kota tersebut. “Nuna, kau dimana? aku bisa gila karenamu. Tolong muncul di hadapanku.” Gumam Sigit.
Tak selang beberapa lama, Sigit melihat sosok gadis yang mirip Nuna dari kejauhan. Dia langsung berlari untuk memastikan. Gadis itu berjalan menunduk sehingga tidak tahu kedatangan Sigit. Setelah tau bahwa gadis itu benar-benar Nuna seketika dia langsung memeluk tubuh gadis itu. Sontak Nuna sangat terkejut dan berusaha melepas pelukan Sigit.
“Hey, Kau siapa? Peluk-peluk se…” Nuna tidak meneruskan ucapannya setelah dia menoleh ke arah Sigit. “Kak Si…” Sigit langsung memeluknya lagi.
“Jangan berkomentar jika aku belum selesai bicara. Maafin aku Nun, aku benar-benar minta maaf telah membuatmu menderita selama ini. Aku tidak tahu sebegitu kau tulus mencintaiku. Maaf aku meninggalkanmu saat itu, aku hanya tidak bisa memberitahumu akan penyakit yang telah menggerogoti paru-paruku. Aku tidak mau membebanimu dengan penyakitku. Mungkin memang ini tidak adil bagimu, tapi inilah kenyataannya. Jika saatnya nanti aku akan menemuimu. Aku sudah benar-benar sembuh sekarang dan berencana untuk menemuimu. Tapi kau sudah datang terlebih dahulu. Dan kau tahu, aku tidak benar-benar meninggalkanmu. Aku selalu memantaumu dengan menyuruh seseorang untuk tinggal di dekatmu kemanapun kau pergi dia akan tahu. Dan kemudian dia memberitahuku. Aku tidak seperti yang kau maksud Nuna. Aku selalu melihatmu, aku selalu merindukanmu, dan aku mencintaimu. Aku senang kau disini sekarang. Aku sangat senang, terimakasih telah bertahan untukku. Dipikiranku kau sekarang sedang bersama laki-laki lain dan telah melupakanku.” Katanya panjang lebar.
“Cukup, kau sudah berbicara sangat banyak Kak. Entah apa yang ada di pikiranku sekarang. Aku terlalu bingung untuk mencerna kata-katamu. Tapi yang aku ingat kau juga mencintaiku. Terimakasih.” Nuna tersenyum dan merekatkan pelukannya. “oya, kenapa kau selalu melarangku untuk pergi ke kampusmu. Kau tahu itu membuatku penasaran??” melepaskan pelukannya.
Sigit tersenyum. “Jika kau bertemu teman-temanku kau akan mengetahui penyakitku. Itu tidak baik.”
“Kau ini, jahat sekali.”
“Maaf, setelah ini aku tidak akan pernah menyakitimu dan akan selalu di sisimu. Aku janji. Oya, aku penasaran tentang foto ini.” Sambil menyerahkan foto dirinya yang berpakaian toga.
“Owh, ini. Aku memotretnya di kampusmu. Dan kau tahu, aku sekarang menetap di Semarang.” Ujarnya sambil tersenyum
“Kau harus menceritakan apa saja yang sudah kau alami selama aku tidak ada bersamamu.”
“Iya.”
Mereka berdua tersenyum dan kemudian naik kereta menuju Semarang.

THE END..

My First and Last Love

 My First and Last Love

 Selama 15 tahun hidupku ini, aku hanya pernah sekali jatuh cinta, sekali mencintai, sekali punya pacar, hanya satu kali, benar-benar hanya satu kali dan itu pun pada satu orang yang sama. Sedihnya, cinta pertamaku -cinta monyetku itu juga yang pertama kali menoreh luka di hatiku.
“Sudah dengar kabar tentang mantanmu?”
“Kabar apa?”
“Dia punya gebetan baru sekarang”
“Cepat sekali”
“Cowok memang seperti itu”
Angel hanya bisa tersenyum tipis. Ya, memang begitulah kenyataannya, semua lelaki itu sama saja. Mereka cepat sekali berpaling dengan hal-hal baru yang dirasa lebih indah. Berbeda dengan kebanyakan wanita. Ketika seorang wanita mencintai kekasihnya, dia akan benar-benar menjaga cinta itu dengan sepenuh hati.
Sejujurnya, jauh di balik lubuk hatinya, Angel masih sangat mencintai Kazu yang sekarang jadi mantannya itu. Kazu sang cinta pertama, Kazu sang pacar pertama, Kazu yang teramat sangat berharga bagi Angel. Tapi sekarang semuanya kandas. Hilang seperti terseret tsunami. Hilang oleh mentari yang diamakan kegelapan.
“Sudahlah, jangan pikirkan dia lagi” tegur Sinta sahabatnya.
Angel terkesiap, ia baru sadar dirinya melamun beberapa lama. Segores senyum terpaksa Angel tampakkan, meski ia sama sekali tidak ingin tersenyum saat ini.
“Aku tidak memikirkannya” kata Angel bohong.
“Oh. Bagus kalau begitu. Dia terlalu buruk untuk kau pikirkan Angel” dengus Sinta.
“Mungkin kau benar, aku sudah melupakannya kok. Tenang saja” lagi-lagi Angel membohongi Sinta, juga membohongi perasaannya sendiri.
“Oke. Ayo ke kafe, aku ingin minum white coffee” tanpa permisi, Sinta sudah menarik tangan Angel berjalan bersamanya. Mereka bergandengan menuju kafe di depan kampus. Kafe yang biasanya ramai dengan mahasiswa itu, sedikit terlihat sepi.
“White coffee satu” Sinta memesan minuman. “Kau minum apa Njel?”
“Sama denganmu saja”
“Kalau gitu White coffeenya dua”
Mereka berdua memilih tempat duduk di dekat jendela yang mengarah ke taman. Dari sana mereka akan melihat pemandangan indah yang disajikan oleh taman bunga tersebut. Kota Malang memang terkenal dengan cuaca yang dingin dan nyaman serta alamnya yang indah. Sinta bukan orang Malang, dia penduduk Jember yang kebetulan kuliah di kota apel dan berteman baik dengan Angel yang memang orang asli Malang. Jember, itu juga adalah kota kelahiran Kazu.
Beberapa saat kemudian pesanan mereka datang. Sinta tampak sangat menikmati kopinya, sementara Angel meminum tanpa gairah sama sekali. Belakangan ini pikirannya sering melayang ke masa lalu dan mengingatkannya kepada Kazu. Angel benar-benar tidak tahu bagaimana cara menghilangkan rasa cintanya itu. Padahal sudah jelas-jelas Kazu mengkhianatinya beberapa bulan lalu. Saat kabar tentang hubungan Kazu dengan teman sejurusannya sampai di telinga Angel, mereka berdua langsung saling diam dan berakhir pada keputusan Angel untuk menstop semua hubungan mereka. Perselingkuhan memang selalu berakhir tidak baik.
“Angel, ayo kita pergi dari sini” kata Sinta tiba-tiba. Ekspresinya agak aneh.
“Kenapa buru-buru?” Angel melirik gelas kopi Sinta. “Bahkan kopimu belum habis”
“Sudahlah. Ayo kita pergi, badanku tidak enak” Sinta menarik tangan Angel. Agak kasar. Angel sama sekali tidak mengerti apa yang di pikirkan sahabatnya itu. Tidak biasanya dia bersikap kasar seperti itu.
“Tunggu!” Angel menghentikan langkah dan menarik tangannya dari genggaman Sinta. Mereka baru keluar beberapa langkah dari pintu kafe.
“Ada apa?” tanya Sinta heran. Dahinya mengernyit tak sabar.
“Tasku tertinggal di dalam”
“Biar kuambilkan”
“Tidak usah!” Angel menghentikan Sinta yang sudah berbalik hendak menuju kafe. “Aku saja, kau sedang tidak enak badan, kan”
Tanpa pikir panjang, Angel melangkah cepat memasuki kafe. Dia sempat mendengar Sinta berteriak melarangnya dengan panik. Tapi Angel tidak perduli, dia jadi semakin penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya.
Setelah mendapat kembali tasnya, Angel berjalan keluar. Tapi matanya tergelitik untuk melihat ke sekeliling area kafe itu. Di pojok ruangan, di meja nomor 7, Angel melihat seseorang yang begitu dikenalinya. Lelaki tampan berkulit coklat sawo dengan rambut cepak yang rapi, duduk bersama seorang wanita yang asing di mata Angel. Mereka tampak mesra sekali, mereka berbicara tentang sesuatu kemudian tertawa bersama.
“Kazu…” angel berseloroh pelan. Sangat pelan bahkan ia sendiri tak yakin telah menyebut nama itu.
Namun orang bernama Kazu itu menoleh, seolah ia mendengar namanya dipanggil. Mata mereka bertemu, beradu pandang. Angel tahu sudah tidak ada cinta dari tatapan itu. Angel benar-benar melihat Kazu yang lain, bukan Kazu yang mencintai dan dicintainya. Tatapan Kazu begitu dingin. Seperti melihat seorang penjahat. Tatapan itu menusuk hati Angel sangat dalam dan menyakitkan. Dan perempuan itu. Siapa dia? Apa dia yang membuat Kazu berpaling? Tentu saja dia, perempuan yang cantik.
“Sudah kubilang biar aku saja yang mengambilkan tasmu” Sinta tiba-tiba muncul.
Angel tidak menggubrisnya, matanya masih terpaku pada Kazu. Tapi Kazu, begitu melihat Sinta datang, dia langsung memalingkan muka dan kembali berbincang bersama perempuan itu. Kazu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Ayo pergi” Sinta menggandeng Angel. Kali ini lebih lembut dan hati-hati. Angel menurut saja saat Sinta mengajaknya segera keluar dari kafe.
Apa ini kenyataan yang harus terjadi. Harapan Angel tentang Kazu sirna sudah. Benar-benar hilang. Seharusnya ia tahu dari dulu bahwa Kazu sudah melupakannya. Tapi kenapa melupakan Kazu terasa begitu sulit? Sementara Kazu bahkan sudah mendapat pengganti yang mungkin lebih baik. Memalukan sekali. Angel merasa dirinya begitu lemah dan tak berdaya.
Beberapa hari setelah keajadian itu, Angel jatuh sakit. Hatinya yang begitu sakit menulari fisiknya. Sinta terus setia berada di dekat Angel, sebagai sahabat dan penyemangatnya.
Beberapa hari berselang. Tepat hari ketiga dari jatuh sakitnya Angel, dia kedatangan tamu yang sama sekali tidak terpikirkan. Gadis yang waktu itu berkencan dengan Kazu datang menjenguk. Awalnya Sinta tidak mengizinkannya bertemu Angel, tapi gadis itu bersikeras.
“Kak Angel, maafkan aku. Aku tidak tahu tentang hubungan kalian”
Angel hanya diam mematung, tidak tahu juga harus berkata apa.
“Cepat katakan apa maumu kemari” Sinta berkata ketus.
Gadis itu menelan ludahnya sendiri, kentara sekali dia gugup. “Namaku Reisma. Aku bukan pacarnya Kak Kazu. Kami memang dekat, tapi tidak ada hubungan apa-apa”
“Tapi kau menyukai Kazu kan?” tebak Sinta, masih dengan suara yang sangat ketus.
“Ya, Kak Kazu, dia baik dan tampan” jawab Reisma. Wajahnya tersipu.
Angel merasa lambungnya membesar hingga mendesak hatinya. Ada desiran panas mengaliri darah Angel. Perasaannya bertambah kacau.
“Jangan berbasa-basi” dengus Sinta yang segera menyadari perubahan ekspresi sahabatnya. “Cepat katakan saja intinya kenapa kau datang kemari”
Reisma menarik nafas panjang. Celana ketat dan blazer yang dipakainya terlihat sangat tidak pas dipakai pada suasana seperti ini.
“Sebenarnya Kak Kazu sakit, sehari setelah kami kencan di kafe dekat kampus”
Angel terbelalak. Kazu sakit? Dia sakit setelah hari itu. Kenapa? Kenapa harus sakit?
“Saat aku menjenguknya, dia sedang tertidur dan mengigau, menyebut nama Angel. Kalau kalian mendengar rintihan itu, Kak Kazu, dia seperti sangat tersiksa. Menyedihkan sekali” mata Reisma berkaca-kaca menceritakan keadaan Kazu. Bahkan sampai hari ini dia belum baikan dan masih sangat sering mengigau memanggil Angel.
“Aku harus menemuinya” kata Angel sembari berusaha bangun dari tempat tidur.
“Kau yakin?” Sinta membantu Angel merapkan diri. Meski Sinta sendiri tidak yakin dengan ini semua. Dia takut Reisma berbohong dan melukai Angel lebih dalam lagi.
“Ya” Angel mengangguk yakin.
Mereka berangkat menuju rumah Kazu yang berjarak sekitar 3 km dengan mobil Reisma. Sepanjang jalan Angel lebih banyak diam dan melamun. Dia tidak punya banyak tenaga untuk bertanya macam-macam kepada Reisma. Padahal ada banyak sekali hal yang ingi Angel ketahui.
Sekitar pukul 4 sore, mereka sampai di rumah Kazu. Rumah itu terlihat sangat sepi. Agak kotor oleh daun-daun rambutan yang berguguran di halaman depan. Angel heran sekali, dia tahu orangtua Kazu sangat menjaga kebersihan. Tapi kenapa sekarang…
“Orangtua Kak Kazu pergi membuka perusahaan baru di luar negeri. Di rumah ini hanya ada si mbok dan Kak Kazu. Sekarang mbok pasti sedang sibuk merawat Kak Kazu, jadi tidak sempat membersihkan rumah” Reisma seolah membaca pikiran Angel, dia menjawab pertanyaan dalam pikirannya dengan jelas sekali.
Sudah lama sekali dia tidak tahu-menahu tentang kehidupa Kazu. Ternyata ada banyak perubahan dan Reisma lebih tahu segalanya. Angel merasa dirinya bukan lagi siapa-siapa dan tidak lagi penting. Tiba-tiba rasa ragu merayapi hatinya. Untuk apa sebenarnya dia datang menemui Kazu?
Begitu masuk ke dalam rumah, Angel menyadari beberapa perabot telah berubah posisi. Dan dia tahu Reisma begitu luwes dengan rumah itu. Tidak ada rasa canggung. Sebenarnya seberapa sering Reisma kesini? Seberapa dekat hubungannya dengan Kazu? Lagi-lagi Angel merasa sesuatu mendesak hatinya. Kali ini, bahkan jantungnya terasa sakit.
Reisma berjalan di depan, memimpin jalan agar Angel dan Sinta mengikutinya menuju kamar Kazu. Begitu melewati sebuah pintu yang familiar, Angel tahu Kazu sudah tidak menempatinya. Kamarnya sudah pindah.
“Permisi, Kak Kazu?” Reisma langsung masuk dan berucap pelan. Ada si mbok yang duduk di sebelah ranjang.
“Non Angel!” mata si mbok berbinar menatap Angel yang tak bisa menahan senyumnya.
“Mbok!” Angel berjalan cepat dan memeluk pembantu rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah itu dengan erat. Mereka berpelukan seperti anak dan ibu yang sudah lama tidak bertemu.
Sinta dan Reisma terkesima melihat pemandangan itu. Mereka menyadari sesuatu, Angel sudah saling mambaur sejak lama.
“Mbok kangen sekali, Non” kata si mbok sambil mengusap rambut Angel. “Den Kazu juga sangat merindukan Non Angel”
Angel tersenyum dan mengangguk. Kemudian matanya beralih ke arah Kazu yang terbaring lemah. Wajahnya kuyu sekali. Tubuhnya terlihat lebih kurus. Nafasnya berat dan saat Angel meyentuh keningnya, panas sekali.
“Sudah berapa lama Kazu sakit Mbok?” tanya Angel yang sekarang duduk di sebelah ranjang tempat si mbok duduk tadi. Reisma dan Sinta duduk agak berjauhan.
“Sudah satu minggu lebih. Semakin hari semakin buruk. Diajak ke rumah sakit tidak mau, malah marah-marah sambil bilang aku mau malaikatku, aku mau Angel” kata mbok seperti anak kecil yang curhat pada ibunya. Angel tersenyum, sangat manis dan bahagia. Bahkan Sinta sudah lama tidak melihat senyum Angel yang seperti itu. Kekuatan cinta, apa ini yang mereka maksud dengan The Power Of Love.
“Angel…”
Serempak, semua kepala menoleh ke arah Kazu yang masih terpejam. Mengigau lagi.
“Aku di sini, Kazu, aku di dekatmu sekarang” Angel berkata lembut, air matanya hampir menyembul keluar.
“Angel… Dimana? Disini gelap, Angel. Mau kemana? Jangan pergi, aku gelap. Cahaya, cahayanya pergi. Angel, Angel kemari, kumohon…”
Hening. Hanya suara igauan Kazu yang sedih. Angel sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia menangis, menangisi Kazu. Kazu masih mencintainya, Kazu masih memikirkannya dan memintanya kembali.
“Kazu, aku datang. Sadarlah, bangun Kazu”
Angel merasakan tangan Kazu meremas tangannya. Kemudian, perlahan-lahan mata yang telah lama dirindukan itu terbuka. Mata coklat yang penuh cinta.
“Angel…” lirih Kazu.
Angel mengangguk pelan, kemudian dengan cepat memeluk Kazu yang juga memeluknya erat. Sudah lama, tidak seperti itu. Rindu sekali. Selama ini mereka justru saling menyakiti satu sama lain. Tanpa sadar mereka saling merindukan, tapi mereka bohongi diri mereka masing-masing. Namun tidak ada yang bisa menghalangi jika Tuhan sudah berkehendak. Dan mereka ditakdirkan oleh Tuhan untuk saling menjaga satu sama lain.

THE END..