Kisah di Bawah Guyuran Hujan

  Kisah di Bawah Guyuran Hujan

 Melupakanmu, ternyata tak semudah apa yang ada dalam tekadku. Kau selalu hadir dalam hari-hariku. Membuatku terluka dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini.
Aku terdiam sendiri sambil menikmati tetesan hujan yang jatuh di kepalaku saat ini. Seperti biasa, hujan selalu dapat membuat hatiku menjadi lebih tentram. Kulihat orang-orang di sekitarku mulai berlari menyelamatkan setiap hal yang ada pada diri mereka. Sedikit pun aku tak berniat untuk mengikuti tindakan mereka. Toh, nanti aku juga bakal basah. Lagian, aku juga sangat menyukai hujan, bukankah hujan adalah rahmat dari Yang Maha Kuasa? jadi, nikmati saja.
Perjalanan menuju rumah yang berjarak 200 meter sengaja kuperlambat. Aku hanya ingin menghapus luka yang lagi-lagi ditorehkan laki-laki itu padaku.
Siang tadi… di Mushala SMA 3 Teladan Bukittinggi
Aku melihatnya berdiri tepat di depanku. Sebelum dia menyadari kehadiranku, aku segera mengambil sepatu dan memakainya dengan wajah yang sengaja ku tundukkan. Aku tak ingin lagi mendapatkan senyum mempesona dan suara sapaan lembut yang keluar dari mulutnya. Tapi, semua tak berjalan sesuai dengan keinginanku karena sepertinya laki-laki itu menyadari keberadaanku dan segera menyapaku.
“Hei, ra! Abis shalat dhuha ya?” tanyanya berbasa-basi.
Aku mengangguk tanpa membalas menatap ke arahnya. Entah kenapa sejak aku meyadari perasaanku padanya, mulutku seperti bungkam tiap kali ia menyapaku. Aku tampak seperti seorang pengecut karena memilih menghindar tiap kali bertemu dengannya. Melihat reaksiku yang datar saja, Azra, nama laki-laki itu, kembali melanjutkan basa-basinya.
“Gimana ujiannya? Bisa?” tanyanya dengan nada yang perhatian.
Aku kembali mengangguk dan karena kedua sepatuku sudah terpasang, aku segera bediri dan berlari menuju kelasku yang tak jauh dari mushala. Meninggalkannya begitu saja. Samar-samar kudengar Azra mengucapkan lafaz hamdalah. Dan aku tak mengerti makna dibalik sikapnya ini.
Setelah kejadian itu, aku lansung pulang dan disinilah aku sekarang, di bawah hujan lebat yang acapkali membantuku menetralisir perasaanku pada Azra.
“Kenapa lagi-lagi aku mendapatkan perhatian itu Az?” ucapku setengah berteriak di bawah guyuran hujan. Aku tak peduli dengan tubuhku yang telah basah kuyup. Aku kembali melanjutkan keluhanku.
“Aku terluka, Az Harusnya kamu nggak memberikan senyum semu itu padaku. Harusnya kamu nggak memberikan perhatian itu Az. Aku nggak ingin terlarut dalam bayang-bayang orang yang tidak pernah bisa ku miliki”
Tiba-tiba hujan berhenti, tapi.. ternyata hanya di sekelilingku. Aku mendongak dan mendapati sebuah tangan yang kokoh sedang memegang sebuah payung untuk melindungi tubuhku. Saat aku berniat untuk menoleh ke belakang, ku dengar si pemegang payung berucap,
“Kamu nggak perlu menoleh ke belakang ra. Aku tau, kalau kamu mendengar suaraku kamu bisa tau siapa aku” ucap laki-laki itu yang ternyata adalah Azra.
“Maaf jika sikapku selama ini ternyata membuat perasaan kamu terluka ra. Tapi, ada satu hal yang perlu kamu tau, aku lebih terluka lagi dengan sikap kamu yang selalu menghindar tiap kali kita bertemu” Azra kembali melanjutkan ucapannya. Sepertinya, tadi Azra bisa mendengar dengan jelas apa yang ku ucap barusan. Aku tak menyangka dengan perkataannya. Dan aku lebih tidak menyangka lagi ternyata aku memilki perasaan yang sama dengannya.
“Aku akan mengantarmu sampai ke rumah. Kurasa, kamu nggak perlu lagi menikmati hujan untuk menghapus bayanganku. Kamu tau, ini bisa membuatmu sakit”. Azra mendorong sedikit tubuhku ke depan, pertanda menyuruhku segera berjalan.
“tapi, bagaimana dengan kamu Az? tubuhmu akan basah.” ucapku mencemaskan keadaannya yang tidak memakai payung.
“Sudahlah, kamu nggak perlu mencemaskan keadaanku. Aku hanya bertekad untuk melindungi kamu ra.” ucapnya.
Aku merasa tidak menapak di langit saat Azra berucap demikian. Setelah itu, aku segera berjalan. Aku tidak mau Azra kehujanan terlalu lama.
“makasih ya Az” ucapku saat telah sampai di rumah.
“sama-sama” balasnya.
“oh ya, kamu juga nggak perlu cepat-cepat menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Karena aku tau kamu belum terbiasa sedekat ini dengan seorang cowok. Anggap saja kita teman yang tidak dapat dipisahkan.. hahaha” Azra tertawa renyah karena candaan yang keluar dari mulutnya. Dan aku tidak dapat menyembunyikan senyumanku. Bagaimanapun, aku bahagia dengan hal ini.
“eh Az, kamu ganti baju dulu ya.. kamu bisa make baju kak Andre” tawarku, sembari melihat bajunya yang benar-benar basah.
“Ah, nggak usah. Makasih… nggak enak dilihatin orang nanti. Aku langsung pulang aja deh” tolaknya halus.
“eh ra, sebelum aku benar-benar pulang, aku pengen jujur.. sebenarnya, aku udah suka kamu sejak kita bertemu saat pendaftaran siswa baru. Aku merasa ada yang spesial tiap menatap kamu. Menatap mata seorang gadis bernama Mutiara Resta Aprilia” dia tersenyum setelah mengatakan itu.
Ucapan Azra, mengingatkanku pada perasaan yang telah ku pendam selama 3 tahun untuknya. Dan sekarang aku bahagia saat akhirnya perasaan kami bersatu.
“satu lagi, ra.. aku nggak menyangka kalau kita sama-sama memanfaatkan hujan” Azra menggantung ucapannya.
“Maksud kamu” tanyaku kebingungan.
“sama seperti kamu, aku juga menghapus luka di hatiku dengan menikmati guyuran hujan”. Mendengar ucapannya, sontak tawaku pecah.
“hei.. nggak usah ngetawain aku, memangnya ada yang lucu” wajah polosnya muncul. Aku kembali tertawa.
“ah.. tertawalah sepuasmu. Aku pulang saja” rengutnya, dengan wajah yang serius.
“haha.. kok ngambek? maaf deh, aku nggak ketawa lagi kok. Tapi.. memang sebaiknya, kamu pulang loh Az” ucapku tersenyum.
“kamu ngusir aku?” ucap Azra dengan memasang wajah kecewa.
“nggak gitu juga Az. Aku cuma nggak mau kamu sakit karena terlalu lama memakai pakaian basah ini” jelasku padanya.
“kamu bener ra. Hari juga udah sore nih. Aku pulang dulu ya” pamitnya, mulai beranjak dari teras rumahku.
“Hati-hati di jalan dan segera tukar baju juga jangan lupa keringkan rambutmu” nasehatku padanya.
“aku mengerti. Kamu tau nggak ra, kamu tampak seperti seorang calon isti yang baik” godanya. Pipiku merona mendengarnya.
“Sekali lagi makasih Az” ucapku sedikit berteriak karena Azra semakin menjauh dari area rumahku.
“sama-sama, ini sudah menjadi tugasku” balasnya dengan berteriak pula.
Kemudian, kulihat sosok Azra mulai menghilang perlahan-lahan dari pandanganku. Hujan sudah berhenti kala itu. Aku tersenyum bahagia menyadari kisah cintaku yan berakhir dengan bahagia. Kuharap kalian juga bisa sepertiku, benar kata orang-orang “semua akan indah pada waktunya”. Karena itu, bersabarlah untuk mendapat suatu hal yang terbaik.

THE END

Posting Komentar